10/27/2015

Metode KTSP dan Fungsinya



BAB II
LANDASAN TEORITIS

A.    Pengertian Metode KTSP dan Fungsinya
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Tujuan tertentu ini meliputi tujuan pendidikan nasional serta kesesuaian dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Oleh sebab itu kurikulum disusun oleh satuan pendidikan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di daerah.[1]
Menurut Hilda Taba dalam Nasution mengemukakan bahwa pada hakikatnya kuri
kulum merupakan suatu cara untuk mempersiapkan anak agar berpartisipasi sebagai anggota yang berproduktif dalam masyarakatnya. Dalam kurikulum terdapat komponen-komponen tertentu yaitu pernyataan tentang tujuan dan sasaran, seleksi dan organisasi bahan dan isi pelajaran, bentuk dan kegiatan belajar mengajar dan evaluasi hasil belajar.[2]
Sedangkan menurut Oliva dalam Hasan mengemukakan bahwa kurikulum adalah perangkat pendidikan yang merupakan jawaban terhadap kebutuhan dan tantangan masyarakat. Tantangan tersebut dapat dikategorikan dalam berbagai jenjang seperti jenjang nasional, lokal dan lingkungan terdekat (daerah). Tantangan tersebut tidak muncul begitu saja tetapi direkonstruksi oleh sekelompok orang dan umumnya dilegalisasikan oleh pengambil keputusan. Rekonstruksi tersebut menyangkut berbagai dimensi kehidupan dalam jenjang-jenjang tersebut.[3]
Dari penjelasan diatas dapat penulis simpulkan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana pengajaran yang digunakan guru sebagai pedoman dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah untuk mencapai tujuan pendidikan.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah sebuah kurikulum operasional pendidikan yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan di Indonesia. KTSP secara yuridis diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Penyusunan KTSP oleh sekolah dimulai Tahun Ajaran 2007/2008 dengan mengacu pada Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) untuk pendidikan dasar dan menengah sebagaimana yang diterbitkan melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional masing-masing Nomor 22 Tahun 2006 dan Nomor 23 Tahun 2006, serta Panduan Pengembangan KTSP yang dikeluarkan oleh BSNP.[4]
KTSP merupakan strategi pengembangan kurikulum untuk mewujudkan sekolah yang efektif, produktif, dan berprestasi. KTSP merupakan paradigma baru pengembangan kurikulum, yang otonomi luas pada setiap satuan pendidikan, dan pelibatan pendidikan masyarakat dalam rangka mengefektifkan proses belajar-mengajar di sekolah. Otonomi diberikan agar setiap satuan pendidikan dan sekolah memiliki keleluasaan dalam mengelola sumber daya, sumber dana, sumber belajar dan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan, serta lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat.
KTSP adalah suatu ide tentang pengembangan kurikulum yang diletakkan pada posisi yang paling dekat dengan pembelajaran, yakni sekolah dan satuan pendidikan. Pemberdayaan sekolah dan satuan pendidikan dengan memberikan otonomi yang lebih besar, di samping menunjukkan sikap tanggap pemerintah terhadap tuntunan masyarakat juga merupakan sarana peningkatan kualitas, efisien, dan pemerataan pendidikan. KTSP merupakan salah satu wujud reformasi pendidikan yang memberikan otonomi kepada sekolah dan satuan pendidikan untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan potensi, tuntunan, dan kebutuhan masing-masing. Otonomi dalam pengembangan kurikulum dan pembelajaran merupakan potensi bagi sekolah untuk meningkatkan kinerja guru dan staf sekolah, menawarkan partisipasi langsung kelompok-kelompok terkait dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pendidikan, khususnya kurikulum. Pada sistem KTSP, sekolah memiliki “full authority and responsibility” dalam menetapkan kurikulum dan pembelajaran sesuai dengan visi, misi, dan tujuan tersebut. Sekolah dituntut untuk mengembangkan strategi, menentukan prioritas, mengendalikan pemberdayaan berbagai potensi sekolah dan lingkungan sekitar, serta mempertanggungjawabkannya kepada masyarakat dan pemerintah.

Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang beragam mengacu pada standar nasional pendidikan untuk menjamin pencapaian tujuan pendidikan nasional. Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan. Dua dari kedelapan standar nasional pendidikan tersebut, yaitu Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) merupakan acuan utama bagi satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum.
Panduan yang disusun BSNP terdiri atas dua bagian. Pertama, Panduan Umum yang memuat ketentuan umum pengembangan kurikulum yang dapat diterapkan pada satuan pendidikan dengan mengacu pada Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang terdapat dalam SI dan SKL termasuk dalam ketentuan umum adalah penjabaran amanat dalam UU 20/2003 dan ketentuan PP 19/2005 serta prinsip dan langkah yang harus diacu dalam pengembangan KTSP. Kedua, model KTSP sebagai salah satu contoh hasil akhir pengembangan KTSP dengan mengacu pada SI dan SKL dengan berpedoman pada Panduan Umum yang dikembangkan BSNP. Sebagai model KTSP, tentu tidak dapat mengakomodasi kebutuhan seluruh daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan hendaknya digunakan sebagai referensi.
Panduan pengembangan kurikulum disusun antara lain agar dapat memberi kesempatan peserta didik untuk :
a.       Belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
b.      Belajar untuk memahami dan menghayati,
c.       Belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif,
d.      Belajar untuk hidup bersama dan berguna untuk orang lain, dan
e.       Belajar untuk membangun dan menemukan jati diri melalui proses belajar yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan.
Menurut Suparman, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) disusun dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1.      Peningkatan Iman dan Takwa serta Akhlak Mulia
Keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia menjadi dasar pembentukan kepribadian peserta didik secara utuh. Oleh karena itu, kurikulum yang disusun sebisa mungkin dapat menunjang peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia pada setiap mata pelajaran.
2.      Peningkatan Potensi, Kecerdasan, dan Minat sesuai dengan Tingkat Perkembangan dan Kemampuan Peserta Didik
Pendidikan merupakan proses sistematik untuk meningkatkan martabat manusia secara holistik sehingga memungkinkan potensi afektif, kognitif, dan psikomotor berkembang secara optimal. Oleh karena itu, kurikulum harus disusun dengan memperhatikan potensi, tingkat perkembangan, minat, kecerdasan intelektual, emosional, sosial, spiritual, dan kinestetik peserta didik.
3.      Keragaman Potensi dan Karakteristik Daerah serta Lingkungan
Setiap daerah memiliki potensi, kebutuhan, tantangan, dan karakteristik lingkungan yang beragam. Oleh karena itu, setiap daerah memerlukan kurikulum pendidikan yang sesuai dengan karakteristik daerah dan pengalaman hidup siswa sehari-hari. Kurikulum yang disusun harus memuat keragaman tersebut sehingga dapat menghasilkan lulusan yang relevan dengan kebutuhan pengembangan daerah.
4.      Tuntutan Pembangunan Daerah dan Nasional
Dalam era otonomi dan desentralisasi untuk mewujudkan pendidikan yang otonom dan demokratis perlu memperhatikan keragaman dan mendorong partisipasi masyarakat dengan tetap mengedepankan wawasan nasional secara berimbang.
5.      Tuntutan Dunia Kerja
Kegiatan pembelajaran harus dapat mendukung tumbuh kembangnya pribadi peserta didik yang berjiwa kewirausahaan dan mempunyai kecakapan hidup. OIeh karena itu, kurikulum perlu memuat kecakapan hidup untuk membekali peserta didik memasuki dunia kerja. Kompetensi ini sangat penting, terutama bagi satuan pendidikan kejuruan dan peserta didik yang tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
6.      Perkembangan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni (Ipteks)
Pendidikan perlu mengantisipasi dampak global yang bercirikan masyarakat berbasis pengetahuan di mana ipteks sangat berperan sebagai penggerak utama perubahan. Pendidikan harus terus-menerus melakukan adaptasi dan penyesuaian dengan perkembangan ipteks sehingga tetap relevan dan kontekstual dengan perubahan. Oleh karena itu, kurikulum harus dikembangkan secara berkala dan berkesinambungan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.

7.      Agama
Kurikulum harus dikembangkan untuk mendukung peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia dengan tetap memelihara toleransi dan kerukunan umat beragama. Oleh karena itu, muatan kurikulum semua mata pelajaran harus ikut mendukung peningkatan iman, takwa, dan akhlak mulia.
8.      Dinamika Perkembangan Global
Pendidikan harus menciptakan kemandirian individu dan kemandirian bangsa. Hal ini sangat penting pada masa pasar bebas. Pergaulan antarbangsa yang semakin erat memerlukan individu yang mandiri dan mampu bersaing serta hidup berdampingan dengan suku dan bangsa lain.
9.      Persatuan Nasional dan Nilai-Nilai Kebangsaan
Pendidikan bertujuan untuk membangun karakter dan wawasan kebangsaan peserta didik sehingga dapat memberikan landasan penting bagi upaya pemeliharaan persatuan dan kesatuan bangsa dalam kerangka NKRI. Oleh karena itu, kurikulum harus mendorong berkembangnya wawasan dan sikap kebangsaan serta persatuan nasional untuk memperkuat keutuhan bangsa dalam wilayah NKRI.
10.  Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Setempat
Kurikulum harus dikembangkan dengan memperhatikan karakteristik sosial budaya masyarakat setempat dan menunjang kelestarian keragaman budaya. Penghayatan dan apresiasi pada budaya setempat harus terlebih dahulu ditumbuhkan sebelum mempelajari budaya dari daerah dan bangsa lain.

11.  Kesetaraan Gender
Kurikulum harus diarahkan pada terciptanya pendidikan yang berkeadilan dan memperhatikan kesetaraan gender.
12.  Karakteristik Satuan Pendidikan
Kurikulum harus dikembangkan sesuai dengan visi, misi, tujuan, kondisi, dan ciri khas satuan pendidikan.[5]

B.     Efektivitas Metode KTSP
Menurut Furkon Pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), khususnya di lingkungan Sekolah Menengah Pertama, pelaksanaannya belumlah efektif, hal ini perlu diupayakan dengan berbagai langkah terutama dari pihak guru. Belum efektifnya pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan senantiasa dikaitkan dengan rendahnya profesionalisme guru, karena guru yang melaksanakan kegiatan proses belajar mengajar. Anggapan demikian tidak terlalu salah, karena nampak jelas bahwa pelaksanaan kurikulum tersebut, guru dihadapkan oleh berbagai hambatan dan kesulitan, antara lain :
1.      Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang lebih menekankan terhadap tercapainya kompetensi siswa, baik secara individu maupun klasikal, pelaksanaannya masih berorientasi terhadap prestasi belajar dalam bentuk penilaian, sehingga fungsi penilaian lebih berorientasi kepada klasifikasi atau peringkat, akibatnya kompetensi siswa relative terabaikan.

2.      Pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan berorientasi kepada pembentukan pribadi. Akan tetapi pada kenyataannya, kegiatan pembelajaran masih menekankan terhadap prestasi belajar siswa, akibatnya alat dan bentuk penilaian yang digunakan relatif terbatas. Sedangkan hasil belajar dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan diukur dengan berbagai cara, misalnya ; proses belajar, hasil karya, tingkah laku/budi pekerti, tes dan sebagainya.
3.      Materi pelajaran yang disajikan oleh guru, pada umumnya masih menggunakan pendekatan dan metode mengajar kurang beragam, sehingga proses pembelajaran hanya menyampaikan materi saja. Sedangkan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan menuntut penggunaan metode mengajar yang bervariasi, agar peserta didik benar-benar menguasai materi yang disajikan.
4.      Masalah lain dalam pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan adalah kegiatan pembelajaran masih bersumber pada guru atau buku, sedangkan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan sumber belajar bukan saja guru akan tetapi sumber-sumber lainnya yang memenuhi unsur edukatif, agar kemampuan standar tercapai.
5.      Kegiatan penilaian dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan lebih menekankan terhadap kemampuan pemecahan masalah, dalam upaya untuk pencapaian suatu kompetensi. Akan tetapi, pada kenyataannya kegiatan penilaian yang dilakukan oleh guru masih berorientasi terhadap klasifikasi atau peringkat, akibatnya pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan belum efektif dilaksanakan.[6]
Peran guru dalam pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan sangat menentukan, karena itu untuk meningkatkan efektifitas kurikulum tersebut, dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan, antara lain :
1.      Guru hendaknya meningkatkan kemandirian dan inisiatif, terutama dalam mengelola dan mendayagunakan sarana dan fasilitas yang tersedia, guna meningkatkan hasil belajar siswa.
2.      Untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pengelolaan serta penggunaan fasilitas pembelajaran, maka pembagian tanggung jawab yang jelas dan transparan diantara warga sekolah merupakan hal yang sangat penting.
3.      Dalam penyelenggaraan pembelajaran dtharapkan perhatian warga masyarakat di sekitar sekolah baik dari pemerintah maupun dari orang tua, dengan cara membuat kebijakan melalui keputusan bersama.
4.      Ciptakan lingkungan sekolah yang aman, tertib, dan nyaman, sehingga kegiatan proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan tenang dan menyenangkan.
5.      Kegiatan evaluasi dan penilaian serta program perbaikan hendaknya dilakukan secara berkesinambungan, dengan tujuan untuk perbaikan dan penyempurnaan proses belajar mengajar.[7]
C.    Metode Pembelajaran Pendidikan Agama dalam KTSP
Pengembangan metode pembelajaran pendidikan agama Islam pada sekolah mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) terutama pada standar isi, standar proses pembelajaran, standar pendidik dan tenaga kependidikan, serta sarana dan prasarana pendidikan. Pengembangan pendidikan agama Islam pada sekolah juga mengimplementasikan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, bahwa pendidikan Islam dapat diklasifikasikan kedalam tiga bentuk, pertama, pendidikan agama diselenggarakan dalam bentuk pendidikan agama Islam di satuan pendidikan pada semua jenjang dan jalur pendidikan. Kedua, pendidikan umum berciri Islam pada satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi pada jalur formal dan non formal, serta informal. Ketiga, pendidikan keagamaan Islam pada berbagai satuan pendidikan diniyah dan pondok pesantren yang diselenggarakan pada jalur formal, dan non formal, serta informal. Pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam pada sekolah diarahkan pada peningkatan mutu dan relevansi pendidikan agama Islam pada sekolah dengan perkembangan kondisi lingkungan lokal, nasional, dan global, serta kebutuhan peserta didik. Kegiatan dalam rangka pengembangan kurikulum adalah pembinaan atas satuan pendidikan dalam pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam tingkat satuan pendidikan.[8]
Metode pembelajaran pendidikan agama dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah metode ceramah, metode tanya jawab, metode pemberian tugas dan metode demonstrasi.
1.   Metode Ceramah
Metode ceramah yaitu sebuah metode mengajar dengan menyampaikan informasi dan pengetahuan secara lisan kepada sejumlah siswa yang pada umumnya mengikuti secara pasif. Metode ceramah dapat dikatakan sebagai satu-satunya metode yang paling ekonomis untuk menyampaikan informasi, dan paling efektif dalam mengatasi kelangkaan literatur atau rujukan yang sesuai dengan jangkauan daya beli dan paham siswa.[9]
Metode ini dapat dilakukan untuk memberikan pengarahan, petunjuk diawal pembelajaran, waktu terbatas, sedangkan materi/informasi banyak yang akan disampaikan, lembaga pendidikan sedikit memiliki staf pengajar dengan siswa yang banyak.
Alasan penggunaan metode ceramah antara lain :
a.       Agar perhatian siswa tetap terarah selama penyajian berlangsung.
b.      Penyajian materi pelajaran sistematis (tidak berbelit-belit).
c.       Untuk merangsang siswa belajar aktif.
d.      Untuk memberikan feed back (balikan).
e.       Untuk memberikan motivasi belajar.
Metode ceramah digunakan dengan tujuan untuk :
a.       Menyampaikan informasi atau materi pelajaran.
b.      Membangkitkan hasrat, minat, dan motivasi siswa untuk belajar.
c.       Memperjelas materi pelajaran.
Kelebihan metode ceramah :
a.       Guru mudah menguasai kelas.
b.      Mudah mengorganisasikan tempat duduk/kelas.
c.       Dapat diikuti oleh siswa dalam jumlah besar.
d.      Mudah mempersiapkan dan melaksanakannya.
e.       Guru mudah menerangkan pelajaran dengan baik.
Keterbatasan metode ceramah adalah :
a.       Membuat siswa pasif (peran serta siswa dalam pembelajaran rendah).
b.      Keberhasilan siswa tidak terukur (sukar mengontrol sejauh mana pemerolehan belajar anak didik).
c.       Mengandung unsur paksaan kepada siswa.
d.      Anak didik yang lebih tanggap dan visi visual akan menjadi rugi dan anak didik yang lebih tanggap auditifnya dapat lebih besar menerimanya.
e.       Perhatian dan motivasi siswa sulit diukur.
f.       Pembicara sering melantur.
g.      Kegiatan pengajaran menjadi verbalisme (pengertian kata-kata).
h.      Bila sering digunakan dan terlalu lama membosankan.

2.   Metode Tanya Jawab
Metode tanya jawab adalah suatu cara mengelola pembelajaran dengan menghasilkan pertanyaan-pertanyaan yang mengarahkan siswa memahami materi tersebut. Metode Tanya Jawab akan menjadi efektif bila materi yang menjadi topik bahasan menarik, menantang dan memiliki nilai aplikasi tinggi. Pertanyaaan yang diajukan bervariasi, meliputi pertanyaan tertutup (pertanyaan yang jawabannya hanya satu kemungkinan) dan pertanyaan terbuka (pertanyaan dengan banyak kemungkinan jawaban), serta disajikan dengan cara yang menarik.
Metode tanya jawab adalah suatu metode dimana guru menggunakan atau memberi pertanyaan kepada murid dan murid menjawab, atau sebaliknya murid bertanya pada guru dan guru menjawab pertanyaan murid itu.[10]
Metode tanya jawab merupakan cara penyajian pelajaran dalam bentuk pertanyaan yang harus dijawab terutama dari guru kepada siswa, tetapi dapat pula dari siswa kepada guru. Metode ini dipandang lebih baik daripada metode pembelajaran konvensional yaitu metode ceramah. Alasannya karena metode ini dapat merangsang siswa untuk berfikir dan berkreativitas dalam proses pembelajaran. Metode tanya jawab juga dapat digunakan untuk mengukur atau mengetahui seberapa jauh materi atau bahan pengajaran yang telah dikuasai oleh siswa.[11]
Metode tanya jawab merupakan cara penyajian pelajaran dalam bentuk pertanyaan yang harus dijawab terutama dari guru kepada siswa, tetapi dapat pula dari siswa kepada guru. Metode ini merupakan metode yang tertua dan banyak digunakan dalam proses pendidikan, baik di lingkungan keluarga, masyarakat maupun di sekolah. Dalam metode ini pemimpin pada umumnya berusaha menanyakan apakah peserta telah mengetahui fakta tertentu yang sudah diajarkan, atau apakah proses pemikiran yang dipakai oleh peserta. Jadi bukan sekedar kesempatan dimana peserta diperbolehkan menanyakan sesuatu mengenai hal yang kurang jelas bagi mereka.[12]
Sudjana mendefinisikan metode Tanya Jawab adalah metode mengajar yang memungkinkan terjadinya komunikasi langsung yang bersifat two way traffic sebab pada saat yang sama terjadi dialog antara guru dan siswa, guru bertanya siswa menjawab, atau siswa bertanya guru menjawab. Sehingga terlihat adanya timbal balik secara langsung antara guru dengan siswa.[13]
Metode tanya jawab sebagai sebuah bentuk interaksi edukatif, mempunyai kebaikan dan kelemahan yang perlu diperhatikan. Diantara sifatnya yang baik yaitu :
a.       Pertanyaan dapat menarik dan memusatkan perhatian siswa, sekalipun ketika itu siswa sedang ribut, yang mengantuk kembali tegar dan hilang kantuknya.
b.      Merangsang siswa untuk melatih dan mengembangkan daya pikir, termasuk daya ingatan.
c.       Mengembangkan keberanian dan keterampilan siswa dalam menjawab dan mengemukakan pendapat.
Langkah-langkah penggunaan metode tanya-jawab :
a.       Merumuskan tujuan tanya jawab sejelasnya dalam bentuk khusus dan berpusat pada tingkah laku anak didik.
b.      Mencari alasan pemilihan metode tanya-jawab.
c.       Menetapkan kemungkinan pertanyaan-pertanyaan yang akan dikemukakan.
d.      Menetapkan kemungkinan jawaban untuk menjaga agar tidak menyimpang dari pokok persoalan.
e.       Menyediakan kesempatan bertanya oleh anak didik.
Berdasarkan langkah-langkah di atas, maka tindakan guru dalam menggunakan metode tanya jawab harus dipersiapkan secermat mungkin dalam bentuk rencana pengajaran yang detail dengan langkah-langkah sebagai berikut :
a.       Menyebutkan alasan penggunaan metode tanya-jawab.
b.      Mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan yang sesuai tujuan pembelajaran khusus.
c.       Menyimpulkan jawaban siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran khusus.
d.      Memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya pada hal-hal yang belum dipahami.
e.       Memberi pertanyaan atau kesempatan kepada siswa untuk bertanya pada hal-hal yang sifatnya pengembangan atau pengayaan.
f.       Memberi kesempatan kepada siswa untuk menjawab pertanyaan yang relevan dan sifatnya pengembangan atau pengayaan.
g.      Menyimpulkan materi jawaban yang relevan.
h.      Pemberian tugas.
Jelas bahwa untuk membuka komunikasi dua arah, pertanyaan tidak dapat dibatasi datang hanya dari pengajar atau penceramah. Untuk tujuan tertentu pertanyaan dari anak didiklah yang dapat memberi petunjuk telah atau belum terciptanya komunikasi yang diharapkan. Terhadap hal yang terakhir ini seorang pengajar harus selalu waspada dan peka.[14]
Rancangan pembelajaran tanya-jawab adalah :
a.       Guru memberikan pertanyaan kepada siswa dalam kelas. Pertanyaan tersebut dimulai dengan pertanyaan berfokus luas, kemudian diikuti dengan pertanyaan yang lebih khusus, yang berfokus terbatas sesuai dengan tujuan yang telah diterapkan.
b.      Sesudah mengajukan satu pertanyaan kepada seluruh siswa, guru memberikan waktu beberapa detik untuk siswa berpikir, kemudian salah satu siswa menjawab dengan kesadaran sendiri atau guru menunjuk salah satu siswa untuk menjawab.
c.       Salah satu siswa menjawab, guru memberikan kesempatan kepada siswa lainnya untuk menyatakan persetujuan, penolakan, atau kolaborasi dengan alasan-alasannya terhadap pandangan atau jawaban yang disampaikan oleh temannya.
d.      Bila jawaban siswa belum tepat, guru memilih siswa meninjau kembali jawaban yang telah dikemukakan siswa dengan pertanyaan khusus agar jawaban siswa menjadi lebih akurat.
e.       Bila siswa memberikan jawaban salah/tidak dapat memberikan jawaban, guru memberikan tuntunan agar siswa dapat menemukan jawaban yang benar.
Menurut Usman dan Setiawati, seorang guru dalam memberikan tanya jawab harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:[15]
a.       Ciri pertanyaan yang baik antara lain :
1)      Merangsang siswa untuk berpikir.
2)      Jelas dan tidak menimbulkan banyak penafsiran.
3)      Singkat dan mudah dipahami siswa.
4)      Disesuaikan dengan kemampuan siswa.
b.      Teknik mengajukan pertanyaan antara lain :
1)      Pertanyaan ditujukan pada seluruh siswa.
2)      Memberi waktu yang cukup kepada siswa untuk berpikir.
3)      Usahakan setiap siswa diberikan giliran menjawab.
4)      Dilakukan dalam suasana rileks, tidak tegang.
c.       Sikap guru terhadap jawaban siswa antara lain :
1)      Tafsirkan jawaban siswa ke arah yang baik.
2)      Hargai secara wajar sekalipun jawaban siswa kurang tepat.
3)      Pada saat tertentu berikan kesempatan kepada siswa lain untuk memulai jawaban yang diberikan temannya.
Kelebihan metode tanya jawab ini :
a.       Lebih mengaktifkan siswa dibandingkan dengan metode ceramah.
b.      Siswa akan lebih cepat mengerti, karena memberi kesempatan siswa untuk menanyakan hal-hal yang belum jelas atau belum dimengerti sehingga guru dapat menjelaskan kembali.
c.       Mengembangkan keberanian dan keterampilan siswa dalam menjawab dan mengemukakan pendapat.
d.      Mengetahui perbedaan pendapat antara siswa dan guru, dan akan membawa kearah suatu diskusi.
e.       Pertanyaan dapat menarik dan memusatkan perhatian siswa.
Keterbatasan metode ini adalah :
a.       Menyita waktu lama dan jumlah siswa harus sedikit.
b.      Mempersyaratkan siswa memiliki latar belakang yang cukup tentang topik atau masalah yang didiskusikan.
c.       Dapat menimbulkan beberapa masalah baru.
d.      Mudah menyimpang dari pokok persoalan.
e.       Metode ini tidak tepat digunakan pada tahap awal proses belajar bila siswa baru diperkenalkan kepada bahan pembelajaran yang baru.
f.       Apatis bagi siswa yang tidak terbiasa dalam forum.
3.   Metode Pemberian Tugas
Metode pemberian tugas adalah cara mengajar atau penyajian materi melalui penugasan siswa untuk melakukan suatu pekerjaan. Pemberian tugas dapat secara individual atau kelompok. Pemberian tugas untuk setiap siswa atau kelompok dapat sama dan dapat pula berbeda.
Agar pemberian tugas dapat menunjang keberhasilan proses pembelajaran, maka:
1) tugas harus bisa dikerjakan oleh siswa atau kelompok siswa, 2) hasil dari kegiatan ini dapat ditindaklanjuti dengan presentasi oleh siswa dari satu kelompok dan ditanggapi oleh siswa dari kelompok yang lain atau oleh guru yang bersangkutan, serta 3) di akhir kegiatan ada kesimpulan yang didapat.
Penggunaan metode pemberian tugas bertujuan :
a.       Menumbuhkan proses pembelajaran yang eksploratif.
b.      Mendorong perilaku kreatif.
c.       Membiasakan berpikir komprehensif.
d.      Memupuk kemandirian dalam proses pembelajaran.
Metode pemberian tugas yang digunakan secara tepat dan terencana dapat bermanfaat untuk :
a.       Menumbuhkan kebiasaan belajar secara mandiri dalam lingkungan bersama (kolektif) maupun sendiri.
b.      Melatih cara mencari informasi secara langsung dari sumber belajar yang terdapat di lingkungan sekolah, rumah dan masyarakat.
c.       Menumbuhkan suasana pembelajaran yang menggairahkan (rekreatif).
Langkah-langkah yang harus diikuti metode tugas adalah :
a.       Fase Pemberian tugas;
1)      Tujuan yang akan dicapai.
2)      Jenis tugas yang jelas dan tepat.
3)      Sesuai dengan kemampuan siswa.
4)      Ada petunjuk/sumber yang dapat membantu pekerjaan siswa.
5)      Sediakan waktu yang cukup untuk mengerjakan tugas tersebut.
b.      Langkah Pelaksanaan Tugas;
1)      Diberikan bimbingan/pengawasan oleh guru.
2)      Diberikan dorongan sehingga anak mau bekerja.
3)      Diusahakan/dikerjakan oleh siswa sendiri, tidak menyuruh orang lain.
4)      Dianjurkan agar siswa mencatat hasil-hasil yang ia peroleh.
c.       Fase mempertanggungjawabkan Tugas;
1)      Laporan siswa baik lisan/tertulis dari apa yang dikerjakannya.
2)      Ada tanya-jawab/diskusi kelas.
3)      Penilaian hasil pekerjaan siswa baik dengan tes maupun non tes.
Kelebiban metode ini adalah :
a.       Lebih merangsang siswa dalam melakukan aktivitas belajar individual ataupun kelompok.
b.      Dapat mengembangkan kemandirian siswa diluar pengawasan guru.
c.       Dapat membina tanggung jawab dan disiplin siswa.
d.      Dapat mengembangkan kreativitas siswa.
Kekurangannya adalah :
a.       Siswa sulit dikontrol mengenai pengerjaan tugas.
b.      Khusunya untuk tugas kelompok, tidak jarang yang aktif mengerjakan dan menyelesaikan adalah anggota tertentu saja, sedangkan anggota lainnya tidak berpartisipasi dengan baik.
c.       Tidak mudah memberikan tugas yang sesuai dengan perbedaan individu siswa.
d.      Sering memberikan tugas yang monoton dapat menimbulkan kebosanan siswa.
4.   Metode Demonstrasi
Metode demonstrasi adalah cara pengelolaan pembelajaran dengan memperagakan atau mempertunjukkan kepada siswa suatu proses, situasi, benda, atau cara kerja suatu produk teknologi yang sedang dipelajari. Demontrasi dapat dilakukan dengan menunjukkan benda baik yang sebenarnya, model, maupun tiruannya dan disertai dengan penjelasan lisan.
Demonstrasi akan menjadi aktif jika dilakukan dengan baik oleh guru dan selanjutnya dilakukan oleh siswa. Metode ini dapat dilakukan untuk kegiatan yang alatnya terbatas tetapi akan dilakukan terus-menerus dan berulang-ulang oleh siswa.
Pelaksanaan metode pembelajaran pendidikan agama Islam juga tidak hanya disampaikan secara formal dalam suatu proses pembelajaran oleh guru pendidikan agama, namun dapat pula dilakukan di luar proses pembelajaran dalam kehidupan sehari-hari. Guru bisa memberikan pendidikan agama ketika menghadapi sikap atau perilaku peserta didik. Pendidikan agama merupakan tugas dan tanggung jawab bersama semua guru. Artinya bukan hanya tugas dan tanggung jawab guru agama saja melainkan juga guru-guru bidang studi lainnya. Guru-guru bidang studi itu bisa menyisipkan pendidikan agama ketika memberikan pelajaran bidang studi. Dari hasil pendidikan agama yang dilakukan secara bersama-sama ini, dapat membentuk pengetahuan, sikap, perilaku, dan pengalaman keagamaan yang baik dan benar. Peserta didik akan mempunyai akhlak mulia, perilaku jujur, disiplin, dan semangat keagamaan sehingga menjadi dasar untuk meningkatkan kualitas dirinya.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam metode demonstrasi :
a.       Demonstrasi akan menjadi metode yang tidak wajar apabila alat yang didemonstrasikan tidak bisa diamati dengan seksama oleh siswa. Misalnya alatnya terlalu kecil atau penjelasannya tidak jelas.
b.      Demonstrasi menjadi kurang efektif bila tidak diikuti oleh aktivitas di mana siswa sendiri dapat ikut memperhatikan dan menjadi aktivitas mereka sebagai pengalaman yang berharga.
c.       Tidak semua hal dapat didemonstrasikan di kelas karena alat-alat yang terlalu besar atau yang berada di tempat lain yang tempatnya jauh dari kelas.
d.      Hendaknya dilakukan dalam hal-hal yang bersifat praktis tetapi dapat membangkitkan minat siswa.
e.       Guru harus dapat memperagakan demonstrasi dengan sebaik-baiknya, karena itu guru perlu mengulang-ulang peragaan di rumah dan memeriksa semua alat yang akan dipakai sebelumnya sehingga sewaktu mendemonstrasikan didepan kelas semuanya berjalan dengan baik.
Manfaat psikologis dan metode demonstrasi adalah :
a.       Perhatian siswa dapat lebih dipusatkan.
b.      Proses belajar siswa lebih terarah pada materi yang sedang dipelajari.
c.       Pengalaman dan kesan sebagai hasil pembelajaran lebih melekat dalam diri siswa.
Kelebihan metode demonstrasi sebagai berikut :
a.       Membantu anak didik memahami dengan jelas jalannya suatu proses atau kerja suatu benda.
b.      Memudahkan berbagai jenis penjelasan.
c.       Kesalahan-kesalahan yang terjadi dapat diperbaiki melalui pengamatan dan contoh konkret, dengan menghadirkan objek sebenarnya.
d.      Anak didik terkadang sukar melihat dengan jelas benda yang akan dipertunjukkan, kurangnya pemahaman siswa tentang kegunaan benda yang dipertunjukkan.
e.       Membuat pengajaran menjadi lebih jelas dan lebih konkret.
f.       Siswa lebih mudah memahami apa yang dipelajari.
g.      Proses pengajaran lebih menarik.
h.      Siswa dirangsang untuk aktif mengamati, menyesuaikan antara teori dengan kenyataan.
Kekurangan metode ini adalah :
a.       Memerlukan keterampilan guru secara khusus.
b.      Fasiitas seperti peralatan, tempat dan biaya yang memadai tidak selalu tersedia dengan baik.
c.       Memerlukan kesiapan dan perencanaan yang matang disamping memerlukan waktu yang cukup panjang.
Metode demontrasi dapat dilaksanakan manakala :
a.       Kegiatan pembelajaran bersifat normal, magang atau latihan bekerja.
b.      Bila materi pelajaran berbentuk keterampilan gerak.
c.       Guru, pelatih, instruktur bermaksud menyederhanakan penyelesaian kegiatan yang panjang.
d.      Pengajar bermaksud menunjukkan suatu standar penampilan.
e.       Untuk menumbuhkan motivasi siswa tentang latihan/praktik yang kita laksanakan
f.       Untuk dapat mengurangi kesalahan-kesalahan.
g.      Bila beberapa masalah yang menimbulkan pertanyaan pada siswa dapat dijawab lebih teliti waktu proses demonstrasi.
Batas-batas metode ini adalah :
a.       Demonstrasi akan merupakan metode yang tidak wajar bila alat didemostrasikan tidak dapat diamati dengan seksama oleh siswa.
b.      Demonstrasi menjadi kurang efektif bila tidak diikuti dengan sebuah aktivitas dimana para siswa sendiri dapat ikut bereksperimen dan menjadikan aktifitas itu pengalaman pribadi.
c.       Tidak semua hal dapat didemosntrasikan didalam kelompok.
d.      Kadang-kadang bila suatu alat dibawa ke dalam kelas kemudian didemonstrasikan, terjadi proses yang berlainan dengan proses dalam situasi nyata.
e.       Jika setiap orang diminta mendemostrasikan maka dapat menyita waktu yang banyak dan membosankan bagi peserta lainnya.

D. Faktor-faktor Pendukung dan Penghambat Pelaksanaan KTSP
Menurut Hanafi[16], faktor-faktor pendukung KTSP adalah sebagai berikut :
1.      Mendorong terwujudnya otonomi sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu bentuk kegagalan pelaksanaan kurikulum di masa lalu adalah adanya penyeragaman kurikulum di seluruh Indonesia, tidak melihat kepada situasi riil di lapangan dan kurang menghargai potensi keunggulan lokal. Dengan adanya penyeragaman ini, sekolah di kota sama dengan sekolah di daerah pinggiran maupun di daerah pedesaan. Penyeragaman kurikulum ini juga berimplikasi pada beberapa kenyataan bahwa sekolah di daerah pertanian sama dengan sekolah yang daerah pesisir pantai, sekolah di daerah industri sama dengan di wilayah pariwisata. Oleh karenanya, kurikulum tersebut menjadi kurang operasional, sehingga tidak memberikan kompetensi yang cukup bagi peserta didik untuk mengembangkan diri dan keunggulan khas yang ada di daerahnya. Sebagai implikasi dan penyeragaman ini akibatnya para lulusan tidak memiliki daya kompetitif di dunia kerja dan berimplikasi pula terhadap meningkatnya angka pengangguran. Untuk itulah kehadiran KTSP diharapkan dapat memberikan jawaban yang konkrit terhadap mutu dunia pendidikan di Indonesia.
Dengan semangat otonomi itu, sekolah bersama dengan komite sekolah dapat secara bersama-sama merumuskan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan, situasi, dan kondisi lingkungan sekolah. Sebagai sesuatu yang baru, sekolah mungkin mengalami kesulitan dalam penyusunan KTSP. OIeh karena itu, jika diperlukan, sekolah dapat berkonsultasi baik secara vertikal maupun secara horizontal. Secara vertikal, sekolah dapat berkonsultasi dengan Dinas Pendidikan Daerah Kabupaten atau Kota, Dinas Pendidikan Provinsi, Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Provinsi, dan Departemen Pendidikan Nasional. Sedangkan secara horizontal, sekolah dapat bermitra dengan stakeholder pendidikan dalam merumuskan KTSP. Misalnya, dunia industri, kerajinan, pariwisata, petani, nelayan, organisasi profesi, dan sebagainya agar kurikulum yang dibuat oleh sekolah benar-benar mampu menjawab kebutuhan di daerah dimana sekolah tersebut berada.
2.      Mendorong para guru, kepala sekolah, dan pihak manajemen sekolah untuk semakin meningkatkan kreativitasnya dalam penyelenggaraan program-program pendidikan.
Dengan berpijak pada panduan kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah yang dibuat oleh BNSP, sekolah diberi keleluasaan untuk merancang, mengembangkan, dan mengimplementasikan kurikulum sekolah sesuai dengan situasi, kondisi, dan potensi keunggulan lokal yang bisa dimunculkan oleh sekolah. Sekolah bisa mengembangkan standar yang lebih tinggi dan standar isi dan standar kompetensi lulusan.
Sebagaimana diketahui, prinsip pengembangan KTSP adalah (1) Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya (2) Beragam dan terpadu; (3) Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; (4) Relevan dengan kebutuhan kehidupan; (5) Menyeluruh dan berkesinambungan; (6) Belajar sepanjang hayat; (7) Dan seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah. Berdasarkan pninsip-pninsip ini, KTSP sangat relevan dengan konsep desentralisasi pendidikan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan konsep manajemen berbasis sekolah (MBS) yang mencakup otonomi sekolah didalamnya. Pemerintah daerah dapat lebih leluasa berimprovisasi dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Di samping itu, sekolah bersama komite sekolah diberi otonomi menyusun kurikulum sendiri sesuai dengan kebutuhan di lapangan.
3.      KTSP sangat memungkinkan bagi setiap sekolah untuk menitikberatkan dan mengembangkan mata pelajaran tertentu yang akseptabel bagi kebutuhan siswa.
Sesuai dengan kebijakan Departemen Pendidikan Nasional yang tertuang dalam Peraturan Mendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi (SI) dan Peraturan Mendiknas No.23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL), sekolah diwajibkan menyusun kurikulumnya sendiri. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) itu memungkinkan sekolah menitikberatkan pada mata pelajaran tertentu yang dianggap paling dibutuhkan siswanya. Sebagai contoh misalnya, sekolah yang berada dalam kawasan pariwisata dapat lebih memfokuskan pada mata pelajaran bahasa Inggris atau mata pelajaran di bidang kepariwisataan lainnya.
Sekolah-sekolah tersebut tidak hanya menjadikan materi bahasa Inggris dan kepariwisataan sebagai mata pelajaran saja, tetapi lebih dari itu menjadikan mata pelajaran tersebut sebagai sebuah ketrampilan. Sehingga kelak jika peserta didik di lingkungan ini telah menyelesaikan studinya bila mereka tidak berkeinginan untuk melanjutkan studinya ke jenjang perguruan tinggi mereka dapat langsung bekerja menerapkan ilmu dan ketrampilan yang telah diperoleh di bangku sekolah.
KTSP ini sesungguhnya lebih mudah, karena guru diberi kebebasan untuk mengembangkan kompetensi siswanya sesuai dengan lingkungan dan kultur daerahnya. KTSP juga tidak mengatur secara rinci kegiatan belajar mengajar (KBM) di kelas, tetapi guru dan sekolah diberi keleluasaan untuk mengembangkannya sendiri sesuai dengan kondisi murid dan daerahnya. Di samping itu yang harus digarisbawahi adalah bahwa yang akan dikeluarkan oleh BNSP tersebut bukanlah kurikulum tetapi tepatnya Pedoman Penyusunan Kurikulum 2006.
4.      KTSP akan mengurangi beban belajar siswa yang sangat padat dan memberatkan kurang lebih 20%.
Dengan diberlakukannya KTSP itu nantinya akan dapat mengurangi beban belajar sebanyak 20% karena KTSP tersebut lebih sederhana. Di samping jam pelajaran akan dikurangi antara 100-200 jam per tahun, bahan ajar yang dianggap memberatkan siswa pun akan dikurangi. Meskipun terdapat pengurangan jam pelajaran dan bahan ajar, KTSP tetap memberikan tekanan pada pengembangan kompetensi siswa.
Pengurangan jam belajar siswa tersebut merupakan rekomendasi dari BNSP. Rekomendasi ini dapat dikatakan cukup unik, karena selama bertahun-tahun beban belajar siswa tidak mengalami perubahan, dan biasanya yang berubah adalah metode pengajaran dan buku pelajaran semata. Jam pelajaran yang biasa diterapkan kepada siswa sebelumnya berkisar antara 1000-1200 jam pelajaran dalam setahun. Jika biasanya satu jam pelajaran untuk siswa SD, SMP dan SMA adalah 45 menit, maka rekomendasi BNSP ini mengusulkan pengurangan untuk SD menjadi 35 menit setiap jam pelajaran, untuk SMP menjadi 40 menit, dan untuk SMA tidak berubah, yakni tetap 45 menit setiap jam pelajaran. Total 1000 jam pelajaran dalam satu tahun ini dengan asumsi setahun terdapat 36-40 minggu efektif kegiatan belajar mengajar dan dalam seminggu tersebut meliputi 36-38 jam pelajaran.
Alasan diadakannya pengurangan jam pelajaran ini karena menurut pakar-pakar pendidikan anak bahwa jam pelajaran di sekolah-sekolah selama ini terlalu banyak. Apalagi kegiatan belajar mengajar masih banyak yang terpaku pada kegiatan tatap muka di kelas. Sehingga suasana yang tercipta pun menjadi terkesan sangat formal. Dampak yang mungkin tidak terlalu disadari adalah siswa terlalu terbebani dengan jam pelajaran tersebut. Akibat lebih jauh lagi adalah mempengaruhi perkembangan jiwa anak.
Persoalan ini lebih dirasakan untuk siswa SD dan SMP. Dalam usia yang masih anak-anak, mereka membutuhkan waktu bermain yang cukup untuk mengembangkan kepribadiannya. Suasana formal yang diciptakan sekolah, ditambah lagi standar jam pelajaran yang relatif lama, tentu akan memberikan dampak tersendiri pada psikologis anak. Banyak pakar yang menilai sekolah selama ini telah merampas hak anak untuk mengembangkan kepribadian secara alami.
Inilah yang menjadi dasar pemikiran bahwa jam pelajaran untuk siswa perlu dikurangi. Meski demikian, pengurangan itu tidak dilakukan secara ekstrim dengan memangkas sekian jam frekuensi siswa berhubungan dengan mata pelajaran di kelas. Melainkan memotong sedikit, atau menghilangkan titik kejenuhan siswa terhadap mata pelajaran dalam sehari akibat terlalu lama berkutat dengan pelajaran itu.
Dapat dikatakan bahwa pemberlakuan KTSP ini sebagai upaya perbaikan secara kontinuitif. Sebagai contoh, kurikulum 1994 dapat dinilai sebagai kurikulum yang berat dalam penerapannya. Ketika diberlakukan Kurikulum 1994 banyak sekolah yang terlalu bersemangat ingin meningkatkan kompetensi iptek siswa, sehingga muatan iptek pun dibesarkan. Tetapi yang patut disayangkan adalah SDM yang tersedia belum siap, sebingga hasilnya hanya sekitar 30% siswa yang mampu menerapkan kurikulum tersebut.

5.      KTSP memberikan peluang yang lebih luas kepada sekolah-sekolah plus untuk mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan.
Pola kurikulum baru (KTSP) akan memberi angin segar pada sekolah-sekolah yang menyebut dirinya nasional plus. Sekolah-sekolah swasta yang kini marak bermunculan itu sejak beberapa tahun terakhir telah mengembangkan variasi atas kurikulum yang ditetapkan pemerintah. Sehingga ketika pemerintah kemudian justru mewajibkan adanya pengayaan dari masing-masing sekolah, sekolah-sekolah plus itu jelas akan menyambut gembira.
Kehadiran KTSP ini bisa jadi merupakan kabar baik bagi sekolah-sekolah plus. Sebagian sekolah-sekolah plus tersebut ada yang khawatir ditegur karena memakai bilingual atau memakai istilah kurikulum yang bermacam-macam seperti yang ada sekarang. Sekarang semua bentuk improvisasi dibebaskan asal tidak keluar panduan yang telah ditetapkan dalam KTSP.
Sedangkan faktor-faktor penghambat yang dihadapi dalam KTSP adalah sebagai berikut :
1.      KTSP menuntut guru untuk mampu menyusun dan mengembangkan kurikulumnya sendiri, kenyataannya selama ini guru terbiasa melaksanakan kurikulum yang hanya dibuat oleh pusat. Guru merasa kesulitan untuk menyusun dan mengembangkan kurikulum. Kesulitan yang dihadapi guru adalah :


a.       Mengembangkan standar kompetensi dasar dan kompetensi dasar ke dalam materi pembelajaran.
b.      Mengembangkan indikator ketercapaian dan proses pembelajaran yang dilaksanakan.
c.       Merencanakan kegiatan pembelajaran yang dapat mengerahkan siswa mencapai kompetensi yang sedang dipelajari.
d.      Memilih alat penilaian yang tepat, yang dapat mengevaluasi tereapai atau tidaknya kompetensi yang dipelajari.
2.      Kurangnya pemahaman guru tentang KTSP yang merupakan paradigma baru yang masih banyak terjadi di sekolah, hal ini disebabkan kurangnya informasi yang kontinue tentang KTSP bagi guru. Sosialisasi yang dilakukan Dinas Pendidikan ataupun dilakukan secara mandiri oleh sekolah sangat terbatas, sementara guru sudah terbiasa dengan pola lama yang diikutinya selama bertahun-tahun. Sosialisasi KTSP yang hanya dilakukan selama tiga atau empat hari dan tidak berkelanjutan, kurang efektif untuk membantu guru memahami KTSP.
3.      Implementasi KTSP memberi otonomi yang luas kepada sekolah, dalam hal tertentu bertabrakan dengan kebijakan para pemegang kekuasaan pendidikan. Sebagai contoh keputusan diberlakukannya ujian bersama di akhir semester dengan soal yang ditentukan secara terpusat dan dikoordinasi oleh MKKS atau Dinas setempat. Sekolah terpaksa mengikuti kebijakan tersebut yang tentu saja hal itu merusak tujuan awal KTSP. Dengan KTSP materi pembelajaran yang dikembangkan sekolah sangat beragam. Perbedaan materi baik muatan maupun kedalamannya sangat mungkin terjadi, tetapi dengan ujian bersama di akhir semester perbedaan antar satuan pendidikan ini tidak lagi penting untuk dikaji.
4.      Dalam struktur kurikulum yang merupakan bagian dari Standar Isi, dijelaskan bahwa komponen kurikulum pendidikan umum dan pendidikan kejuruan mencakup mata pelajaran, muatan lokal dan pengembangan diri. Muatan lokal merupakan bagian integral dari KTSP. Muatan lokal seharusnya dapat menjadi keunggulan sekolah, karena muatan lokal dipilih sendiri oleh sekolah sesuai dengan kebutuhannya. Masalahnya adalah ketika sekolah ingin mengembangkan muatan lokal yang sesuai dengan kebutuhan sekolah, sekolah telah diikat dengan muatan lokal yang merupakan ciri khas provinsi/kabupaten. Penambahan muatan lokal memang dimungkinkan sehingga sekolah bisa memiliki ciri lebih dari satu muatan lokal, tetapi penambahan muatan lokal ini berakibat pada penambahan beban belajar tiap minggu, sementara beban belajar per minggu sudah ditetapkan tidak boleh lebih dari 42 jam pelajaran. Dengan kondisi tersebut, keinginan sekolah untuk merealisasikan otonomi luas agaknya belum dapat terlaksana.
5.      Jumlah siswa dalam satu rombongan belajar masih terlalu besar. Untuk mengimplementasikan model-model pembelajaran yang variatif dan menyenangkan seperti tuntutan KTSP, mengembangkan sistem penilaian yang berkelanjutan, mengembangkan program remedial dan pengayaan yang merupakan pelayanan individual terhadap siswa, sulit terlaksana karena situasi kelas tidak kondusif.
6.      Terbatasnya sarana dan prasarana kurikulum yang merangsang guru untuk inovatif, kreatif dan profesional membutuhkan sarana dan parasarana yang memadai.


7.      Guru-guru di sekolah uji coba kurikulum 2004 masih merasakan kendala dengan pelaksanaan KTSP, apalagi bagi guru yang masih melaksanakan kurikulum 1994 dan akan segera melaksanakan KTSP. Kesulitan tersebut yaitu kesulitan dalam penyusunan silabus. Selain guru harus mampu mengembangkan metode pembelajaran yang movatif melaksanakan sistem penilaian berkelanjutan bukan hal yang mudah yang dapat langsung teratasi oleh guru hanya dengan mendengarkan sosialisasi dan workshop.[17]



[1] Suparman, Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) SMP dan MTs. (Solo: PT. Tiga Serangkai Mandiri, 2007), hal. 1

[2] Nasution S. MA. Asas-Asas Kurikulum. (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hal. 7

[3] Hamid, Hasan. “Pengembangan dan Implementasi KTSP, Konsep dan Substansi”. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional KTSP, UNNES, Semarang, 15 Maret 2007.

[4] Suparman, “Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) SMP dan MTs”. (Solo:PT. Tiga Serangkai Mandiri, 2007), hal. 1


[5] Ibid, hal. 2


[6] Endang Furkon, http://furkon-as.blogspot.com/2008/06/upaya-guru-dalam-meningkatkan.html, diakses pada tanggal 17 Juli 2009

[7] Ibid


[8] Ali, Muhammad, “Pengembangan Pendidikan Agama di Sekolah”, 1 September 2010


[9] Syah, Muhibbin, “Psikologi Pendidikan”, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2000), hal. 20


[10] Soetomo. “Dasar - dasar Interaksi Belajar Mengajar”. (Surabaya: Usaha Nasional, 1993), hal. 150.

[11] Djamarah, Syaiful Bahri. 2000. “Strategi Belajar Mengajar”. (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2000), hal. 107.


[12]  Surakhmad, Winarno. “Pengantar Interaksi Belajar Mengajar”. (Bandung: Tarsito, 1998), hal. 103

[13] Sudjana, Nana. “Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar”. (Jakarta: Bina Aksara, 2004), hal. 78


[14] Surakhmad, Winarno. “Pengantar Interaksi Belajar Mengajar”. (Bandung: Tarsito, 1998), hal. 102


[15] M. Uzer Usman, Lilies Setiawati. “Upaya Optimalisosi Belajar Mengajar”. (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1993), hal. 123.


[16] Hanafie, “Artikel Plus Minus Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)”, 28 Februari 2007


[17] Ibid