BAB II
LANDASAN TEORITIS
A. Pengertian Metode KTSP dan
Fungsinya
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan,
isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu. Tujuan tertentu ini meliputi tujuan pendidikan nasional serta
kesesuaian dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan
peserta didik. Oleh sebab itu kurikulum disusun oleh satuan pendidikan untuk
memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang
ada di daerah.[1]
Menurut Hilda Taba dalam Nasution mengemukakan bahwa pada hakikatnya
kuri
kulum merupakan suatu cara untuk mempersiapkan anak agar berpartisipasi
sebagai anggota yang berproduktif dalam masyarakatnya. Dalam kurikulum terdapat
komponen-komponen tertentu yaitu pernyataan tentang tujuan dan sasaran, seleksi
dan organisasi bahan dan isi pelajaran, bentuk dan kegiatan belajar mengajar
dan evaluasi hasil belajar.[2]
Sedangkan menurut Oliva dalam Hasan mengemukakan bahwa kurikulum
adalah perangkat pendidikan yang merupakan jawaban terhadap kebutuhan dan
tantangan masyarakat. Tantangan tersebut dapat dikategorikan dalam berbagai jenjang
seperti jenjang nasional, lokal dan lingkungan terdekat (daerah). Tantangan
tersebut tidak muncul begitu saja tetapi direkonstruksi oleh sekelompok orang
dan umumnya dilegalisasikan oleh pengambil keputusan. Rekonstruksi tersebut
menyangkut berbagai dimensi kehidupan dalam jenjang-jenjang tersebut.[3]
Dari penjelasan diatas dapat penulis simpulkan bahwa kurikulum
adalah seperangkat rencana pengajaran yang digunakan guru sebagai pedoman dalam
kegiatan belajar mengajar di sekolah untuk mencapai tujuan pendidikan.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah sebuah kurikulum
operasional pendidikan yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing
satuan pendidikan di Indonesia. KTSP secara yuridis diamanatkan oleh
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan. Penyusunan KTSP oleh sekolah dimulai Tahun Ajaran
2007/2008 dengan mengacu pada Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan
(SKL) untuk pendidikan dasar dan menengah sebagaimana yang diterbitkan melalui
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional masing-masing Nomor 22 Tahun 2006 dan
Nomor 23 Tahun 2006, serta Panduan Pengembangan KTSP yang dikeluarkan oleh
BSNP.[4]
KTSP merupakan strategi pengembangan kurikulum untuk mewujudkan
sekolah yang efektif, produktif, dan berprestasi. KTSP merupakan paradigma baru
pengembangan kurikulum, yang otonomi luas pada setiap satuan pendidikan, dan
pelibatan pendidikan masyarakat dalam rangka mengefektifkan proses
belajar-mengajar di sekolah. Otonomi diberikan agar setiap satuan pendidikan
dan sekolah memiliki keleluasaan dalam mengelola sumber daya, sumber dana,
sumber belajar dan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan, serta
lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat.
KTSP adalah suatu ide tentang pengembangan kurikulum yang diletakkan
pada posisi yang paling dekat dengan pembelajaran, yakni sekolah dan satuan
pendidikan. Pemberdayaan sekolah dan satuan pendidikan dengan memberikan
otonomi yang lebih besar, di samping menunjukkan sikap tanggap pemerintah
terhadap tuntunan masyarakat juga merupakan sarana peningkatan kualitas,
efisien, dan pemerataan pendidikan. KTSP merupakan salah satu wujud reformasi
pendidikan yang memberikan otonomi kepada sekolah dan satuan pendidikan untuk
mengembangkan kurikulum sesuai dengan potensi, tuntunan, dan kebutuhan
masing-masing. Otonomi dalam pengembangan kurikulum dan pembelajaran merupakan
potensi bagi sekolah untuk meningkatkan kinerja guru dan staf sekolah,
menawarkan partisipasi langsung kelompok-kelompok terkait dan meningkatkan
pemahaman masyarakat terhadap pendidikan, khususnya kurikulum. Pada sistem
KTSP, sekolah memiliki “full authority
and responsibility” dalam menetapkan kurikulum dan pembelajaran sesuai
dengan visi, misi, dan tujuan tersebut. Sekolah dituntut untuk mengembangkan
strategi, menentukan prioritas, mengendalikan pemberdayaan berbagai potensi
sekolah dan lingkungan sekitar, serta mempertanggungjawabkannya kepada
masyarakat dan pemerintah.
Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang beragam
mengacu pada standar nasional pendidikan untuk menjamin pencapaian tujuan
pendidikan nasional. Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi,
proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan,
pembiayaan dan penilaian pendidikan. Dua dari kedelapan standar nasional
pendidikan tersebut, yaitu Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan
(SKL) merupakan acuan utama bagi satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum.
Panduan yang disusun BSNP terdiri atas dua bagian. Pertama, Panduan Umum yang memuat
ketentuan umum pengembangan kurikulum yang dapat diterapkan pada satuan
pendidikan dengan mengacu pada Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang
terdapat dalam SI dan SKL termasuk dalam ketentuan umum adalah penjabaran
amanat dalam UU 20/2003 dan ketentuan PP 19/2005 serta prinsip dan langkah yang
harus diacu dalam pengembangan KTSP. Kedua,
model KTSP sebagai salah satu contoh hasil akhir pengembangan KTSP dengan mengacu
pada SI dan SKL dengan berpedoman pada Panduan Umum yang dikembangkan BSNP.
Sebagai model KTSP, tentu tidak dapat mengakomodasi kebutuhan seluruh daerah di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan hendaknya digunakan
sebagai referensi.
Panduan pengembangan kurikulum disusun antara lain agar dapat memberi
kesempatan peserta didik untuk :
a.
Belajar untuk beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa,
b.
Belajar untuk memahami dan
menghayati,
c.
Belajar untuk mampu
melaksanakan dan berbuat secara efektif,
d.
Belajar untuk hidup bersama dan
berguna untuk orang lain, dan
e.
Belajar untuk membangun dan
menemukan jati diri melalui proses belajar yang aktif, kreatif, efektif dan
menyenangkan.
Menurut Suparman, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) disusun
dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1.
Peningkatan Iman dan Takwa serta Akhlak Mulia
Keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia menjadi dasar pembentukan
kepribadian peserta didik secara utuh. Oleh karena itu, kurikulum yang disusun
sebisa mungkin dapat menunjang peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia
pada setiap mata pelajaran.
2.
Peningkatan Potensi, Kecerdasan, dan Minat sesuai dengan Tingkat
Perkembangan dan Kemampuan Peserta Didik
Pendidikan merupakan proses sistematik untuk meningkatkan martabat
manusia secara holistik sehingga memungkinkan potensi afektif, kognitif, dan
psikomotor berkembang secara optimal. Oleh karena itu, kurikulum harus disusun
dengan memperhatikan potensi, tingkat perkembangan, minat, kecerdasan
intelektual, emosional, sosial, spiritual, dan kinestetik peserta didik.
3.
Keragaman Potensi dan Karakteristik Daerah serta Lingkungan
Setiap daerah memiliki potensi, kebutuhan, tantangan, dan
karakteristik lingkungan yang beragam. Oleh karena itu, setiap daerah
memerlukan kurikulum pendidikan yang sesuai dengan karakteristik daerah dan
pengalaman hidup siswa sehari-hari. Kurikulum yang disusun harus memuat keragaman
tersebut sehingga dapat menghasilkan lulusan yang relevan dengan kebutuhan
pengembangan daerah.
4.
Tuntutan Pembangunan Daerah dan Nasional
Dalam era otonomi dan desentralisasi untuk mewujudkan pendidikan
yang otonom dan demokratis perlu memperhatikan keragaman dan mendorong
partisipasi masyarakat dengan tetap mengedepankan wawasan nasional secara
berimbang.
5.
Tuntutan Dunia Kerja
Kegiatan pembelajaran harus dapat mendukung tumbuh kembangnya
pribadi peserta didik yang berjiwa kewirausahaan dan mempunyai kecakapan hidup.
OIeh karena itu, kurikulum perlu memuat kecakapan hidup untuk membekali peserta
didik memasuki dunia kerja. Kompetensi ini sangat penting, terutama bagi satuan
pendidikan kejuruan dan peserta didik yang tidak melanjutkan ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi.
6.
Perkembangan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni (Ipteks)
Pendidikan perlu mengantisipasi dampak global yang bercirikan
masyarakat berbasis pengetahuan di mana ipteks sangat berperan sebagai
penggerak utama perubahan. Pendidikan harus terus-menerus melakukan adaptasi
dan penyesuaian dengan perkembangan ipteks sehingga tetap relevan dan
kontekstual dengan perubahan. Oleh karena itu, kurikulum harus dikembangkan
secara berkala dan berkesinambungan sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni.
7.
Agama
Kurikulum harus dikembangkan untuk mendukung peningkatan iman dan
takwa serta akhlak mulia dengan tetap memelihara toleransi dan kerukunan umat
beragama. Oleh karena itu, muatan kurikulum semua mata pelajaran harus ikut
mendukung peningkatan iman, takwa, dan akhlak mulia.
8.
Dinamika Perkembangan Global
Pendidikan harus menciptakan kemandirian individu dan kemandirian
bangsa. Hal ini sangat penting pada masa pasar bebas. Pergaulan antarbangsa
yang semakin erat memerlukan individu yang mandiri dan mampu bersaing serta
hidup berdampingan dengan suku dan bangsa lain.
9.
Persatuan Nasional dan Nilai-Nilai Kebangsaan
Pendidikan bertujuan untuk membangun karakter dan wawasan kebangsaan
peserta didik sehingga dapat memberikan landasan penting bagi upaya
pemeliharaan persatuan dan kesatuan bangsa dalam kerangka NKRI. Oleh karena
itu, kurikulum harus mendorong berkembangnya wawasan dan sikap kebangsaan serta
persatuan nasional untuk memperkuat keutuhan bangsa dalam wilayah NKRI.
10. Kondisi Sosial Budaya
Masyarakat Setempat
Kurikulum harus dikembangkan dengan memperhatikan karakteristik
sosial budaya masyarakat setempat dan menunjang kelestarian keragaman budaya.
Penghayatan dan apresiasi pada budaya setempat harus terlebih dahulu
ditumbuhkan sebelum mempelajari budaya dari daerah dan bangsa lain.
11. Kesetaraan Gender
Kurikulum harus diarahkan pada terciptanya pendidikan yang
berkeadilan dan memperhatikan kesetaraan gender.
12. Karakteristik Satuan
Pendidikan
Kurikulum harus dikembangkan sesuai dengan visi, misi, tujuan,
kondisi, dan ciri khas satuan pendidikan.[5]
B. Efektivitas Metode KTSP
Menurut Furkon Pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP), khususnya di lingkungan Sekolah Menengah Pertama, pelaksanaannya
belumlah efektif, hal ini perlu diupayakan dengan berbagai langkah terutama
dari pihak guru. Belum efektifnya pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan senantiasa dikaitkan dengan rendahnya profesionalisme guru, karena
guru yang melaksanakan kegiatan proses belajar mengajar. Anggapan demikian
tidak terlalu salah, karena nampak jelas bahwa pelaksanaan kurikulum tersebut,
guru dihadapkan oleh berbagai hambatan dan kesulitan, antara lain :
1.
Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan yang lebih menekankan terhadap tercapainya kompetensi siswa, baik secara
individu maupun klasikal, pelaksanaannya masih berorientasi terhadap prestasi
belajar dalam bentuk penilaian, sehingga fungsi penilaian lebih berorientasi
kepada klasifikasi atau peringkat, akibatnya kompetensi siswa relative terabaikan.
2.
Pelaksanaan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan berorientasi kepada pembentukan pribadi. Akan tetapi pada
kenyataannya, kegiatan pembelajaran masih menekankan terhadap prestasi belajar
siswa, akibatnya alat dan bentuk penilaian yang digunakan relatif terbatas.
Sedangkan hasil belajar dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan diukur dengan
berbagai cara, misalnya ; proses belajar, hasil karya, tingkah laku/budi pekerti,
tes dan sebagainya.
3.
Materi pelajaran yang disajikan
oleh guru, pada umumnya masih menggunakan pendekatan dan metode mengajar kurang
beragam, sehingga proses pembelajaran hanya menyampaikan materi saja. Sedangkan
dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan menuntut penggunaan metode mengajar
yang bervariasi, agar peserta didik benar-benar menguasai materi yang
disajikan.
4.
Masalah lain dalam pelaksanaan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan adalah kegiatan pembelajaran masih
bersumber pada guru atau buku, sedangkan dalam Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan sumber belajar bukan saja guru akan tetapi sumber-sumber lainnya
yang memenuhi unsur edukatif, agar kemampuan standar tercapai.
5.
Kegiatan penilaian dalam
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan lebih menekankan terhadap kemampuan
pemecahan masalah, dalam upaya untuk pencapaian suatu kompetensi. Akan tetapi,
pada kenyataannya kegiatan penilaian yang dilakukan oleh guru masih
berorientasi terhadap klasifikasi atau peringkat, akibatnya pelaksanaan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan belum efektif dilaksanakan.[6]
Peran guru dalam pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
sangat menentukan, karena itu untuk meningkatkan efektifitas kurikulum
tersebut, dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan, antara lain :
1.
Guru hendaknya meningkatkan
kemandirian dan inisiatif, terutama dalam mengelola dan mendayagunakan sarana
dan fasilitas yang tersedia, guna meningkatkan hasil belajar siswa.
2.
Untuk meningkatkan efisiensi
dan efektifitas pengelolaan serta penggunaan fasilitas pembelajaran, maka
pembagian tanggung jawab yang jelas dan transparan diantara warga sekolah
merupakan hal yang sangat penting.
3.
Dalam penyelenggaraan
pembelajaran dtharapkan perhatian warga masyarakat di sekitar sekolah baik dari
pemerintah maupun dari orang tua, dengan cara membuat kebijakan melalui
keputusan bersama.
4.
Ciptakan lingkungan sekolah
yang aman, tertib, dan nyaman, sehingga kegiatan proses belajar mengajar dapat
berlangsung dengan tenang dan menyenangkan.
5.
Kegiatan evaluasi dan penilaian
serta program perbaikan hendaknya dilakukan secara berkesinambungan, dengan
tujuan untuk perbaikan dan penyempurnaan proses belajar mengajar.[7]
C. Metode Pembelajaran
Pendidikan Agama dalam KTSP
Pengembangan metode pembelajaran pendidikan agama Islam pada sekolah
mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan (SNP) terutama pada standar isi, standar proses
pembelajaran, standar pendidik dan tenaga kependidikan, serta sarana dan
prasarana pendidikan. Pengembangan pendidikan agama Islam pada sekolah juga
mengimplementasikan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan
Agama dan Pendidikan Keagamaan, bahwa pendidikan Islam dapat diklasifikasikan
kedalam tiga bentuk, pertama, pendidikan agama diselenggarakan dalam bentuk
pendidikan agama Islam di satuan pendidikan pada semua jenjang dan jalur
pendidikan. Kedua, pendidikan umum berciri Islam pada satuan pendidikan anak
usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi pada
jalur formal dan non formal, serta informal. Ketiga, pendidikan keagamaan Islam
pada berbagai satuan pendidikan diniyah dan pondok pesantren yang
diselenggarakan pada jalur formal, dan non formal, serta informal. Pengembangan
kurikulum pendidikan agama Islam pada sekolah diarahkan pada peningkatan mutu
dan relevansi pendidikan agama Islam pada sekolah dengan perkembangan kondisi
lingkungan lokal, nasional, dan global, serta kebutuhan peserta didik. Kegiatan
dalam rangka pengembangan kurikulum adalah pembinaan atas satuan pendidikan dalam
pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam tingkat satuan pendidikan.[8]
Metode pembelajaran pendidikan agama dalam Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) adalah metode ceramah, metode tanya jawab, metode pemberian
tugas dan metode demonstrasi.
1. Metode Ceramah
Metode ceramah yaitu sebuah metode mengajar dengan menyampaikan
informasi dan pengetahuan secara lisan kepada sejumlah siswa yang pada umumnya
mengikuti secara pasif. Metode ceramah dapat dikatakan sebagai satu-satunya
metode yang paling ekonomis untuk menyampaikan informasi, dan paling efektif
dalam mengatasi kelangkaan literatur atau rujukan yang sesuai dengan jangkauan
daya beli dan paham siswa.[9]
Metode ini dapat dilakukan untuk memberikan pengarahan, petunjuk
diawal pembelajaran, waktu terbatas, sedangkan materi/informasi banyak yang
akan disampaikan, lembaga pendidikan sedikit memiliki staf pengajar dengan
siswa yang banyak.
Alasan penggunaan metode ceramah antara lain :
a.
Agar perhatian siswa tetap
terarah selama penyajian berlangsung.
b.
Penyajian materi pelajaran
sistematis (tidak berbelit-belit).
c.
Untuk merangsang siswa belajar
aktif.
d.
Untuk memberikan feed back (balikan).
e.
Untuk memberikan motivasi
belajar.
Metode ceramah digunakan dengan tujuan untuk :
a.
Menyampaikan informasi atau
materi pelajaran.
b.
Membangkitkan hasrat, minat,
dan motivasi siswa untuk belajar.
c.
Memperjelas materi pelajaran.
Kelebihan metode ceramah :
a.
Guru mudah menguasai kelas.
b.
Mudah mengorganisasikan tempat
duduk/kelas.
c.
Dapat diikuti oleh siswa dalam
jumlah besar.
d.
Mudah mempersiapkan dan
melaksanakannya.
e.
Guru mudah menerangkan
pelajaran dengan baik.
Keterbatasan metode ceramah adalah :
a.
Membuat siswa pasif (peran serta
siswa dalam pembelajaran rendah).
b.
Keberhasilan siswa tidak
terukur (sukar mengontrol sejauh mana pemerolehan belajar anak didik).
c.
Mengandung unsur paksaan kepada
siswa.
d.
Anak didik yang lebih tanggap
dan visi visual akan menjadi rugi dan anak didik yang lebih tanggap auditifnya
dapat lebih besar menerimanya.
e.
Perhatian dan motivasi siswa
sulit diukur.
f.
Pembicara sering melantur.
g.
Kegiatan pengajaran menjadi
verbalisme (pengertian kata-kata).
h.
Bila sering digunakan dan
terlalu lama membosankan.
2. Metode Tanya Jawab
Metode tanya jawab adalah suatu cara mengelola pembelajaran dengan
menghasilkan pertanyaan-pertanyaan yang mengarahkan siswa memahami materi
tersebut. Metode Tanya Jawab akan menjadi efektif bila materi yang menjadi
topik bahasan menarik, menantang dan memiliki nilai aplikasi tinggi.
Pertanyaaan yang diajukan bervariasi, meliputi pertanyaan tertutup (pertanyaan
yang jawabannya hanya satu kemungkinan) dan pertanyaan terbuka (pertanyaan
dengan banyak kemungkinan jawaban), serta disajikan dengan cara yang menarik.
Metode tanya jawab adalah suatu metode dimana guru menggunakan atau
memberi pertanyaan kepada murid dan murid menjawab, atau sebaliknya murid
bertanya pada guru dan guru menjawab pertanyaan murid itu.[10]
Metode tanya jawab merupakan cara penyajian pelajaran dalam bentuk
pertanyaan yang harus dijawab terutama dari guru kepada siswa, tetapi dapat
pula dari siswa kepada guru. Metode ini dipandang lebih baik daripada metode
pembelajaran konvensional yaitu metode ceramah. Alasannya karena metode ini
dapat merangsang siswa untuk berfikir dan berkreativitas dalam proses
pembelajaran. Metode tanya jawab juga dapat digunakan untuk mengukur atau
mengetahui seberapa jauh materi atau bahan pengajaran yang telah dikuasai oleh
siswa.[11]
Metode tanya jawab merupakan cara penyajian pelajaran dalam bentuk
pertanyaan yang harus dijawab terutama dari guru kepada siswa, tetapi dapat
pula dari siswa kepada guru. Metode ini merupakan metode yang tertua dan banyak
digunakan dalam proses pendidikan, baik di lingkungan keluarga, masyarakat
maupun di sekolah. Dalam metode ini pemimpin pada umumnya berusaha menanyakan
apakah peserta telah mengetahui fakta tertentu yang sudah diajarkan, atau
apakah proses pemikiran yang dipakai oleh peserta. Jadi bukan sekedar
kesempatan dimana peserta diperbolehkan menanyakan sesuatu mengenai hal yang
kurang jelas bagi mereka.[12]
Sudjana mendefinisikan metode Tanya Jawab adalah metode mengajar
yang memungkinkan terjadinya komunikasi langsung yang bersifat two way traffic sebab pada saat yang
sama terjadi dialog antara guru dan siswa, guru bertanya siswa menjawab, atau
siswa bertanya guru menjawab. Sehingga terlihat adanya timbal balik secara
langsung antara guru dengan siswa.[13]
Metode tanya jawab sebagai sebuah bentuk interaksi edukatif,
mempunyai kebaikan dan kelemahan yang perlu diperhatikan. Diantara sifatnya
yang baik yaitu :
a.
Pertanyaan dapat menarik dan
memusatkan perhatian siswa, sekalipun ketika itu siswa sedang ribut, yang
mengantuk kembali tegar dan hilang kantuknya.
b.
Merangsang siswa untuk melatih
dan mengembangkan daya pikir, termasuk daya ingatan.
c.
Mengembangkan keberanian dan
keterampilan siswa dalam menjawab dan mengemukakan pendapat.
Langkah-langkah penggunaan metode tanya-jawab :
a.
Merumuskan tujuan tanya jawab
sejelasnya dalam bentuk khusus dan berpusat pada tingkah laku anak didik.
b.
Mencari alasan pemilihan metode
tanya-jawab.
c.
Menetapkan kemungkinan
pertanyaan-pertanyaan yang akan dikemukakan.
d.
Menetapkan kemungkinan jawaban
untuk menjaga agar tidak menyimpang dari pokok persoalan.
e.
Menyediakan kesempatan bertanya
oleh anak didik.
Berdasarkan langkah-langkah di atas, maka tindakan guru dalam menggunakan
metode tanya jawab harus dipersiapkan secermat mungkin dalam bentuk rencana
pengajaran yang detail dengan langkah-langkah sebagai berikut :
a.
Menyebutkan alasan penggunaan
metode tanya-jawab.
b.
Mempersiapkan
pertanyaan-pertanyaan yang sesuai tujuan pembelajaran khusus.
c.
Menyimpulkan jawaban siswa
sesuai dengan tujuan pembelajaran khusus.
d.
Memberi kesempatan kepada siswa
untuk bertanya pada hal-hal yang belum dipahami.
e.
Memberi pertanyaan atau
kesempatan kepada siswa untuk bertanya pada hal-hal yang sifatnya pengembangan
atau pengayaan.
f.
Memberi kesempatan kepada siswa
untuk menjawab pertanyaan yang relevan dan sifatnya pengembangan atau
pengayaan.
g.
Menyimpulkan materi jawaban
yang relevan.
h.
Pemberian tugas.
Jelas bahwa untuk membuka komunikasi dua arah, pertanyaan tidak
dapat dibatasi datang hanya dari pengajar atau penceramah. Untuk tujuan
tertentu pertanyaan dari anak didiklah yang dapat memberi petunjuk telah atau
belum terciptanya komunikasi yang diharapkan. Terhadap hal yang terakhir ini
seorang pengajar harus selalu waspada dan peka.[14]
Rancangan pembelajaran tanya-jawab adalah :
a.
Guru memberikan pertanyaan
kepada siswa dalam kelas. Pertanyaan tersebut dimulai dengan pertanyaan
berfokus luas, kemudian diikuti dengan pertanyaan yang lebih khusus, yang
berfokus terbatas sesuai dengan tujuan yang telah diterapkan.
b.
Sesudah mengajukan satu
pertanyaan kepada seluruh siswa, guru memberikan waktu beberapa detik untuk
siswa berpikir, kemudian salah satu siswa menjawab dengan kesadaran sendiri
atau guru menunjuk salah satu siswa untuk menjawab.
c.
Salah satu siswa menjawab, guru
memberikan kesempatan kepada siswa lainnya untuk menyatakan persetujuan,
penolakan, atau kolaborasi dengan alasan-alasannya terhadap pandangan atau
jawaban yang disampaikan oleh temannya.
d.
Bila jawaban siswa belum tepat,
guru memilih siswa meninjau kembali jawaban yang telah dikemukakan siswa dengan
pertanyaan khusus agar jawaban siswa menjadi lebih akurat.
e.
Bila siswa memberikan jawaban
salah/tidak dapat memberikan jawaban, guru memberikan tuntunan agar siswa dapat
menemukan jawaban yang benar.
Menurut Usman dan Setiawati, seorang guru dalam memberikan tanya
jawab harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:[15]
a.
Ciri pertanyaan yang baik
antara lain :
1)
Merangsang siswa untuk
berpikir.
2)
Jelas dan tidak menimbulkan
banyak penafsiran.
3)
Singkat dan mudah dipahami
siswa.
4)
Disesuaikan dengan kemampuan
siswa.
b.
Teknik mengajukan pertanyaan
antara lain :
1)
Pertanyaan ditujukan pada
seluruh siswa.
2)
Memberi waktu yang cukup kepada
siswa untuk berpikir.
3)
Usahakan setiap siswa diberikan
giliran menjawab.
4)
Dilakukan dalam suasana rileks,
tidak tegang.
c.
Sikap guru terhadap jawaban
siswa antara lain :
1)
Tafsirkan jawaban siswa ke arah
yang baik.
2)
Hargai secara wajar sekalipun
jawaban siswa kurang tepat.
3)
Pada saat tertentu berikan
kesempatan kepada siswa lain untuk memulai jawaban yang diberikan temannya.
Kelebihan metode tanya jawab ini :
a.
Lebih mengaktifkan siswa
dibandingkan dengan metode ceramah.
b.
Siswa akan lebih cepat
mengerti, karena memberi kesempatan siswa untuk menanyakan hal-hal yang belum
jelas atau belum dimengerti sehingga guru dapat menjelaskan kembali.
c.
Mengembangkan keberanian dan
keterampilan siswa dalam menjawab dan mengemukakan pendapat.
d.
Mengetahui perbedaan pendapat
antara siswa dan guru, dan akan membawa kearah suatu diskusi.
e.
Pertanyaan dapat menarik dan
memusatkan perhatian siswa.
Keterbatasan metode ini adalah :
a.
Menyita waktu lama dan jumlah
siswa harus sedikit.
b.
Mempersyaratkan siswa memiliki
latar belakang yang cukup tentang topik atau masalah yang didiskusikan.
c.
Dapat menimbulkan beberapa
masalah baru.
d.
Mudah menyimpang dari pokok
persoalan.
e.
Metode ini tidak tepat
digunakan pada tahap awal proses belajar bila siswa baru diperkenalkan kepada
bahan pembelajaran yang baru.
f.
Apatis bagi siswa yang tidak
terbiasa dalam forum.
3. Metode Pemberian Tugas
Metode pemberian tugas adalah cara mengajar atau penyajian materi
melalui penugasan siswa untuk melakukan suatu pekerjaan. Pemberian tugas dapat
secara individual atau kelompok. Pemberian tugas untuk setiap siswa atau
kelompok dapat sama dan dapat pula berbeda.
Agar pemberian tugas dapat menunjang keberhasilan proses
pembelajaran, maka:
1) tugas harus
bisa dikerjakan oleh siswa atau kelompok siswa, 2) hasil dari kegiatan ini
dapat ditindaklanjuti dengan presentasi oleh siswa dari satu kelompok dan
ditanggapi oleh siswa dari kelompok yang lain atau oleh guru yang bersangkutan,
serta 3) di akhir kegiatan ada kesimpulan yang didapat.
Penggunaan metode pemberian tugas bertujuan :
a.
Menumbuhkan proses pembelajaran
yang eksploratif.
b.
Mendorong perilaku kreatif.
c.
Membiasakan berpikir
komprehensif.
d.
Memupuk kemandirian dalam
proses pembelajaran.
Metode pemberian tugas yang digunakan secara tepat dan terencana
dapat bermanfaat untuk :
a.
Menumbuhkan kebiasaan belajar
secara mandiri dalam lingkungan bersama (kolektif) maupun sendiri.
b.
Melatih cara mencari informasi
secara langsung dari sumber belajar yang terdapat di lingkungan sekolah, rumah
dan masyarakat.
c.
Menumbuhkan suasana
pembelajaran yang menggairahkan (rekreatif).
Langkah-langkah yang harus diikuti metode tugas adalah :
a.
Fase Pemberian tugas;
1)
Tujuan yang akan dicapai.
2)
Jenis tugas yang jelas dan
tepat.
3)
Sesuai dengan kemampuan siswa.
4)
Ada petunjuk/sumber yang dapat
membantu pekerjaan siswa.
5)
Sediakan waktu yang cukup untuk
mengerjakan tugas tersebut.
b.
Langkah Pelaksanaan Tugas;
1)
Diberikan bimbingan/pengawasan
oleh guru.
2)
Diberikan dorongan sehingga
anak mau bekerja.
3)
Diusahakan/dikerjakan oleh
siswa sendiri, tidak menyuruh orang lain.
4)
Dianjurkan agar siswa mencatat
hasil-hasil yang ia peroleh.
c.
Fase mempertanggungjawabkan
Tugas;
1)
Laporan siswa baik lisan/tertulis
dari apa yang dikerjakannya.
2)
Ada tanya-jawab/diskusi kelas.
3)
Penilaian hasil pekerjaan siswa
baik dengan tes maupun non tes.
Kelebiban metode ini adalah :
a.
Lebih merangsang siswa dalam
melakukan aktivitas belajar individual ataupun kelompok.
b.
Dapat mengembangkan kemandirian
siswa diluar pengawasan guru.
c.
Dapat membina tanggung jawab
dan disiplin siswa.
d.
Dapat mengembangkan kreativitas
siswa.
Kekurangannya adalah :
a.
Siswa sulit dikontrol mengenai
pengerjaan tugas.
b.
Khusunya untuk tugas kelompok,
tidak jarang yang aktif mengerjakan dan menyelesaikan adalah anggota tertentu
saja, sedangkan anggota lainnya tidak berpartisipasi dengan baik.
c.
Tidak mudah memberikan tugas
yang sesuai dengan perbedaan individu siswa.
d.
Sering memberikan tugas yang
monoton dapat menimbulkan kebosanan siswa.
4. Metode Demonstrasi
Metode demonstrasi adalah cara pengelolaan pembelajaran dengan
memperagakan atau mempertunjukkan kepada siswa suatu proses, situasi, benda,
atau cara kerja suatu produk teknologi yang sedang dipelajari. Demontrasi dapat
dilakukan dengan menunjukkan benda baik yang sebenarnya, model, maupun
tiruannya dan disertai dengan penjelasan lisan.
Demonstrasi akan menjadi aktif jika dilakukan dengan baik oleh guru
dan selanjutnya dilakukan oleh siswa. Metode ini dapat dilakukan untuk kegiatan
yang alatnya terbatas tetapi akan dilakukan terus-menerus dan berulang-ulang
oleh siswa.
Pelaksanaan metode pembelajaran pendidikan agama Islam juga tidak
hanya disampaikan secara formal dalam suatu proses pembelajaran oleh guru pendidikan
agama, namun dapat pula dilakukan di luar proses pembelajaran dalam kehidupan
sehari-hari. Guru bisa memberikan pendidikan agama ketika menghadapi sikap atau
perilaku peserta didik. Pendidikan agama merupakan tugas dan tanggung jawab
bersama semua guru. Artinya bukan hanya tugas dan tanggung jawab guru agama
saja melainkan juga guru-guru bidang studi lainnya. Guru-guru bidang studi itu
bisa menyisipkan pendidikan agama ketika memberikan pelajaran bidang studi.
Dari hasil pendidikan agama yang dilakukan secara bersama-sama ini, dapat
membentuk pengetahuan, sikap, perilaku, dan pengalaman keagamaan yang baik dan
benar. Peserta didik akan mempunyai akhlak mulia, perilaku jujur, disiplin, dan
semangat keagamaan sehingga menjadi dasar untuk meningkatkan kualitas dirinya.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam metode demonstrasi :
a.
Demonstrasi akan menjadi metode
yang tidak wajar apabila alat yang didemonstrasikan tidak bisa diamati dengan
seksama oleh siswa. Misalnya alatnya terlalu kecil atau penjelasannya tidak jelas.
b.
Demonstrasi menjadi kurang
efektif bila tidak diikuti oleh aktivitas di mana siswa sendiri dapat ikut
memperhatikan dan menjadi aktivitas mereka sebagai pengalaman yang berharga.
c.
Tidak semua hal dapat
didemonstrasikan di kelas karena alat-alat yang terlalu besar atau yang berada
di tempat lain yang tempatnya jauh dari kelas.
d.
Hendaknya dilakukan dalam
hal-hal yang bersifat praktis tetapi dapat membangkitkan minat siswa.
e.
Guru harus dapat memperagakan
demonstrasi dengan sebaik-baiknya, karena itu guru perlu mengulang-ulang
peragaan di rumah dan memeriksa semua alat yang akan dipakai sebelumnya sehingga
sewaktu mendemonstrasikan didepan kelas semuanya berjalan dengan baik.
Manfaat psikologis dan metode demonstrasi adalah :
a.
Perhatian siswa dapat lebih
dipusatkan.
b.
Proses belajar siswa lebih
terarah pada materi yang sedang dipelajari.
c.
Pengalaman dan kesan sebagai
hasil pembelajaran lebih melekat dalam diri siswa.
Kelebihan metode demonstrasi sebagai berikut :
a.
Membantu anak didik memahami
dengan jelas jalannya suatu proses atau kerja suatu benda.
b.
Memudahkan berbagai jenis
penjelasan.
c.
Kesalahan-kesalahan yang terjadi
dapat diperbaiki melalui pengamatan dan contoh konkret, dengan menghadirkan objek
sebenarnya.
d.
Anak didik terkadang sukar
melihat dengan jelas benda yang akan dipertunjukkan, kurangnya pemahaman siswa
tentang kegunaan benda yang dipertunjukkan.
e.
Membuat pengajaran menjadi
lebih jelas dan lebih konkret.
f.
Siswa lebih mudah memahami apa
yang dipelajari.
g.
Proses pengajaran lebih
menarik.
h.
Siswa dirangsang untuk aktif
mengamati, menyesuaikan antara teori dengan kenyataan.
Kekurangan metode ini adalah :
a.
Memerlukan keterampilan guru
secara khusus.
b.
Fasiitas seperti peralatan,
tempat dan biaya yang memadai tidak selalu tersedia dengan baik.
c.
Memerlukan kesiapan dan
perencanaan yang matang disamping memerlukan waktu yang cukup panjang.
Metode demontrasi dapat dilaksanakan manakala :
a.
Kegiatan pembelajaran bersifat
normal, magang atau latihan bekerja.
b.
Bila materi pelajaran berbentuk
keterampilan gerak.
c.
Guru, pelatih, instruktur
bermaksud menyederhanakan penyelesaian kegiatan yang panjang.
d.
Pengajar bermaksud menunjukkan
suatu standar penampilan.
e.
Untuk menumbuhkan motivasi
siswa tentang latihan/praktik yang kita laksanakan
f.
Untuk dapat mengurangi
kesalahan-kesalahan.
g.
Bila beberapa masalah yang
menimbulkan pertanyaan pada siswa dapat dijawab lebih teliti waktu proses
demonstrasi.
Batas-batas metode ini adalah :
a.
Demonstrasi akan merupakan
metode yang tidak wajar bila alat didemostrasikan tidak dapat diamati dengan
seksama oleh siswa.
b.
Demonstrasi menjadi kurang efektif
bila tidak diikuti dengan sebuah aktivitas dimana para siswa sendiri dapat ikut
bereksperimen dan menjadikan aktifitas itu pengalaman pribadi.
c.
Tidak semua hal dapat
didemosntrasikan didalam kelompok.
d.
Kadang-kadang bila suatu alat
dibawa ke dalam kelas kemudian didemonstrasikan, terjadi proses yang berlainan
dengan proses dalam situasi nyata.
e.
Jika setiap orang diminta
mendemostrasikan maka dapat menyita waktu yang banyak dan membosankan bagi
peserta lainnya.
D. Faktor-faktor Pendukung dan Penghambat Pelaksanaan
KTSP
Menurut Hanafi[16],
faktor-faktor pendukung KTSP adalah sebagai berikut :
1.
Mendorong terwujudnya otonomi sekolah dalam penyelenggaraan
pendidikan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu bentuk kegagalan pelaksanaan
kurikulum di masa lalu adalah adanya penyeragaman kurikulum di seluruh
Indonesia, tidak melihat kepada situasi riil di lapangan dan kurang menghargai
potensi keunggulan lokal. Dengan adanya penyeragaman ini, sekolah di kota sama
dengan sekolah di daerah pinggiran maupun di daerah pedesaan. Penyeragaman
kurikulum ini juga berimplikasi pada beberapa kenyataan bahwa sekolah di daerah
pertanian sama dengan sekolah yang daerah pesisir pantai, sekolah di daerah
industri sama dengan di wilayah pariwisata. Oleh karenanya, kurikulum tersebut
menjadi kurang operasional, sehingga tidak memberikan kompetensi yang cukup
bagi peserta didik untuk mengembangkan diri dan keunggulan khas yang ada di
daerahnya. Sebagai implikasi dan penyeragaman ini akibatnya para lulusan tidak
memiliki daya kompetitif di dunia kerja dan berimplikasi pula terhadap
meningkatnya angka pengangguran. Untuk itulah kehadiran KTSP diharapkan dapat
memberikan jawaban yang konkrit terhadap mutu dunia pendidikan di Indonesia.
Dengan semangat otonomi itu, sekolah bersama dengan komite sekolah
dapat secara bersama-sama merumuskan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan,
situasi, dan kondisi lingkungan sekolah. Sebagai sesuatu yang baru, sekolah
mungkin mengalami kesulitan dalam penyusunan KTSP. OIeh karena itu, jika
diperlukan, sekolah dapat berkonsultasi baik secara vertikal maupun secara
horizontal. Secara vertikal, sekolah dapat berkonsultasi dengan Dinas
Pendidikan Daerah Kabupaten atau Kota, Dinas Pendidikan Provinsi, Lembaga
Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Provinsi, dan Departemen Pendidikan Nasional.
Sedangkan secara horizontal, sekolah dapat bermitra dengan stakeholder pendidikan dalam merumuskan KTSP. Misalnya, dunia
industri, kerajinan, pariwisata, petani, nelayan, organisasi profesi, dan
sebagainya agar kurikulum yang dibuat oleh sekolah benar-benar mampu menjawab
kebutuhan di daerah dimana sekolah tersebut berada.
2.
Mendorong para guru, kepala sekolah, dan pihak manajemen sekolah
untuk semakin meningkatkan kreativitasnya dalam penyelenggaraan program-program
pendidikan.
Dengan berpijak pada panduan kurikulum tingkat satuan pendidikan
dasar dan menengah yang dibuat oleh BNSP, sekolah diberi keleluasaan untuk
merancang, mengembangkan, dan mengimplementasikan kurikulum sekolah sesuai
dengan situasi, kondisi, dan potensi keunggulan lokal yang bisa dimunculkan
oleh sekolah. Sekolah bisa mengembangkan standar yang lebih tinggi dan standar
isi dan standar kompetensi lulusan.
Sebagaimana diketahui, prinsip pengembangan KTSP adalah (1) Berpusat
pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan
lingkungannya (2) Beragam dan terpadu; (3) Tanggap terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni; (4) Relevan dengan kebutuhan kehidupan; (5) Menyeluruh
dan berkesinambungan; (6) Belajar sepanjang hayat; (7) Dan seimbang antara
kepentingan nasional dan kepentingan daerah. Berdasarkan pninsip-pninsip ini,
KTSP sangat relevan dengan konsep desentralisasi pendidikan sejalan dengan
pelaksanaan otonomi daerah dan konsep manajemen berbasis sekolah (MBS) yang
mencakup otonomi sekolah didalamnya. Pemerintah daerah dapat lebih leluasa
berimprovisasi dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Di samping itu, sekolah
bersama komite sekolah diberi otonomi menyusun kurikulum sendiri sesuai dengan
kebutuhan di lapangan.
3.
KTSP sangat memungkinkan bagi setiap sekolah untuk menitikberatkan
dan mengembangkan mata pelajaran tertentu yang akseptabel bagi kebutuhan siswa.
Sesuai dengan kebijakan Departemen Pendidikan Nasional yang tertuang
dalam Peraturan Mendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi (SI) dan
Peraturan Mendiknas No.23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL),
sekolah diwajibkan menyusun kurikulumnya sendiri. Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) itu memungkinkan sekolah menitikberatkan pada mata pelajaran
tertentu yang dianggap paling dibutuhkan siswanya. Sebagai contoh misalnya,
sekolah yang berada dalam kawasan pariwisata dapat lebih memfokuskan pada mata
pelajaran bahasa Inggris atau mata pelajaran di bidang kepariwisataan lainnya.
Sekolah-sekolah tersebut tidak hanya menjadikan materi bahasa
Inggris dan kepariwisataan sebagai mata pelajaran saja, tetapi lebih dari itu
menjadikan mata pelajaran tersebut sebagai sebuah ketrampilan. Sehingga kelak
jika peserta didik di lingkungan ini telah menyelesaikan studinya bila mereka
tidak berkeinginan untuk melanjutkan studinya ke jenjang perguruan tinggi
mereka dapat langsung bekerja menerapkan ilmu dan ketrampilan yang telah diperoleh
di bangku sekolah.
KTSP ini sesungguhnya lebih mudah, karena guru diberi kebebasan
untuk mengembangkan kompetensi siswanya sesuai dengan lingkungan dan kultur
daerahnya. KTSP juga tidak mengatur secara rinci kegiatan belajar mengajar
(KBM) di kelas, tetapi guru dan sekolah diberi keleluasaan untuk mengembangkannya
sendiri sesuai dengan kondisi murid dan daerahnya. Di samping itu yang harus digarisbawahi
adalah bahwa yang akan dikeluarkan oleh BNSP tersebut bukanlah kurikulum tetapi
tepatnya Pedoman Penyusunan Kurikulum 2006.
4.
KTSP akan mengurangi beban belajar siswa yang sangat padat dan
memberatkan kurang lebih 20%.
Dengan diberlakukannya KTSP itu nantinya akan dapat mengurangi beban
belajar sebanyak 20% karena KTSP tersebut lebih sederhana. Di samping jam
pelajaran akan dikurangi antara 100-200 jam per tahun, bahan ajar yang dianggap
memberatkan siswa pun akan dikurangi. Meskipun terdapat pengurangan jam
pelajaran dan bahan ajar, KTSP tetap memberikan tekanan pada pengembangan
kompetensi siswa.
Pengurangan jam belajar siswa tersebut merupakan rekomendasi dari
BNSP. Rekomendasi ini dapat dikatakan cukup unik, karena selama bertahun-tahun
beban belajar siswa tidak mengalami perubahan, dan biasanya yang berubah adalah
metode pengajaran dan buku pelajaran semata. Jam pelajaran yang biasa
diterapkan kepada siswa sebelumnya berkisar antara 1000-1200 jam pelajaran
dalam setahun. Jika biasanya satu jam pelajaran untuk siswa SD, SMP dan SMA
adalah 45 menit, maka rekomendasi BNSP ini mengusulkan pengurangan untuk SD
menjadi 35 menit setiap jam pelajaran, untuk SMP menjadi 40 menit, dan untuk
SMA tidak berubah, yakni tetap 45 menit setiap jam pelajaran. Total 1000 jam
pelajaran dalam satu tahun ini dengan asumsi setahun terdapat 36-40 minggu efektif
kegiatan belajar mengajar dan dalam seminggu tersebut meliputi 36-38 jam
pelajaran.
Alasan diadakannya pengurangan jam pelajaran ini karena menurut
pakar-pakar pendidikan anak bahwa jam pelajaran di sekolah-sekolah selama ini
terlalu banyak. Apalagi kegiatan belajar mengajar masih banyak yang terpaku
pada kegiatan tatap muka di kelas. Sehingga suasana yang tercipta pun menjadi
terkesan sangat formal. Dampak yang mungkin tidak terlalu disadari adalah siswa
terlalu terbebani dengan jam pelajaran tersebut. Akibat lebih jauh lagi adalah
mempengaruhi perkembangan jiwa anak.
Persoalan ini lebih dirasakan untuk siswa SD dan SMP. Dalam usia
yang masih anak-anak, mereka membutuhkan waktu bermain yang cukup untuk
mengembangkan kepribadiannya. Suasana formal yang diciptakan sekolah, ditambah
lagi standar jam pelajaran yang relatif lama, tentu akan memberikan dampak
tersendiri pada psikologis anak. Banyak pakar yang menilai sekolah selama ini telah
merampas hak anak untuk mengembangkan kepribadian secara alami.
Inilah yang menjadi dasar pemikiran bahwa jam pelajaran untuk siswa
perlu dikurangi. Meski demikian, pengurangan itu tidak dilakukan secara ekstrim
dengan memangkas sekian jam frekuensi siswa berhubungan dengan mata pelajaran
di kelas. Melainkan memotong sedikit, atau menghilangkan titik kejenuhan siswa
terhadap mata pelajaran dalam sehari akibat terlalu lama berkutat dengan
pelajaran itu.
Dapat dikatakan bahwa pemberlakuan KTSP ini sebagai upaya perbaikan
secara kontinuitif. Sebagai contoh, kurikulum 1994 dapat dinilai sebagai kurikulum
yang berat dalam penerapannya. Ketika diberlakukan Kurikulum 1994 banyak
sekolah yang terlalu bersemangat ingin meningkatkan kompetensi iptek siswa,
sehingga muatan iptek pun dibesarkan. Tetapi yang patut disayangkan adalah SDM
yang tersedia belum siap, sebingga hasilnya hanya sekitar 30% siswa yang mampu
menerapkan kurikulum tersebut.
5.
KTSP memberikan peluang yang lebih luas kepada sekolah-sekolah plus
untuk mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan.
Pola kurikulum baru (KTSP) akan memberi angin segar pada
sekolah-sekolah yang menyebut dirinya nasional plus. Sekolah-sekolah swasta
yang kini marak bermunculan itu sejak beberapa tahun terakhir telah
mengembangkan variasi atas kurikulum yang ditetapkan pemerintah. Sehingga
ketika pemerintah kemudian justru mewajibkan adanya pengayaan dari
masing-masing sekolah, sekolah-sekolah plus itu jelas akan menyambut gembira.
Kehadiran KTSP ini bisa jadi merupakan kabar baik bagi
sekolah-sekolah plus. Sebagian sekolah-sekolah plus tersebut ada yang khawatir
ditegur karena memakai bilingual atau memakai istilah kurikulum yang
bermacam-macam seperti yang ada sekarang. Sekarang semua bentuk improvisasi
dibebaskan asal tidak keluar panduan yang telah ditetapkan dalam KTSP.
Sedangkan faktor-faktor penghambat yang dihadapi dalam KTSP adalah
sebagai berikut :
1.
KTSP menuntut guru untuk mampu
menyusun dan mengembangkan kurikulumnya sendiri, kenyataannya selama ini guru
terbiasa melaksanakan kurikulum yang hanya dibuat oleh pusat. Guru merasa
kesulitan untuk menyusun dan mengembangkan kurikulum. Kesulitan yang dihadapi
guru adalah :
a.
Mengembangkan standar
kompetensi dasar dan kompetensi dasar ke dalam materi pembelajaran.
b.
Mengembangkan indikator
ketercapaian dan proses pembelajaran yang dilaksanakan.
c.
Merencanakan kegiatan
pembelajaran yang dapat mengerahkan siswa mencapai kompetensi yang sedang
dipelajari.
d.
Memilih alat penilaian yang
tepat, yang dapat mengevaluasi tereapai atau tidaknya kompetensi yang
dipelajari.
2.
Kurangnya pemahaman guru
tentang KTSP yang merupakan paradigma baru yang masih banyak terjadi di
sekolah, hal ini disebabkan kurangnya informasi yang kontinue tentang KTSP bagi
guru. Sosialisasi yang dilakukan Dinas Pendidikan ataupun dilakukan secara
mandiri oleh sekolah sangat terbatas, sementara guru sudah terbiasa dengan pola
lama yang diikutinya selama bertahun-tahun. Sosialisasi KTSP yang hanya dilakukan
selama tiga atau empat hari dan tidak berkelanjutan, kurang efektif untuk
membantu guru memahami KTSP.
3.
Implementasi KTSP memberi
otonomi yang luas kepada sekolah, dalam hal tertentu bertabrakan dengan
kebijakan para pemegang kekuasaan pendidikan. Sebagai contoh keputusan
diberlakukannya ujian bersama di akhir semester dengan soal yang ditentukan
secara terpusat dan dikoordinasi oleh MKKS atau Dinas setempat. Sekolah
terpaksa mengikuti kebijakan tersebut yang tentu saja hal itu merusak tujuan
awal KTSP. Dengan KTSP materi pembelajaran yang dikembangkan sekolah sangat
beragam. Perbedaan materi baik muatan maupun kedalamannya sangat mungkin terjadi,
tetapi dengan ujian bersama di akhir semester perbedaan antar satuan pendidikan
ini tidak lagi penting untuk dikaji.
4.
Dalam struktur kurikulum yang
merupakan bagian dari Standar Isi, dijelaskan bahwa komponen kurikulum
pendidikan umum dan pendidikan kejuruan mencakup mata pelajaran, muatan lokal dan
pengembangan diri. Muatan lokal merupakan bagian integral dari KTSP. Muatan
lokal seharusnya dapat menjadi keunggulan sekolah, karena muatan lokal dipilih
sendiri oleh sekolah sesuai dengan kebutuhannya. Masalahnya adalah ketika
sekolah ingin mengembangkan muatan lokal yang sesuai dengan kebutuhan sekolah,
sekolah telah diikat dengan muatan lokal yang merupakan ciri khas provinsi/kabupaten.
Penambahan muatan lokal memang dimungkinkan sehingga sekolah bisa memiliki ciri
lebih dari satu muatan lokal, tetapi penambahan muatan lokal ini berakibat pada
penambahan beban belajar tiap minggu, sementara beban belajar per minggu sudah ditetapkan
tidak boleh lebih dari 42 jam pelajaran. Dengan kondisi tersebut, keinginan
sekolah untuk merealisasikan otonomi luas agaknya belum dapat terlaksana.
5.
Jumlah siswa dalam satu
rombongan belajar masih terlalu besar. Untuk mengimplementasikan model-model
pembelajaran yang variatif dan menyenangkan seperti tuntutan KTSP,
mengembangkan sistem penilaian yang berkelanjutan, mengembangkan program remedial
dan pengayaan yang merupakan pelayanan individual terhadap siswa, sulit terlaksana
karena situasi kelas tidak kondusif.
6.
Terbatasnya sarana dan
prasarana kurikulum yang merangsang guru untuk inovatif, kreatif dan
profesional membutuhkan sarana dan parasarana yang memadai.
7.
Guru-guru di sekolah uji coba
kurikulum 2004 masih merasakan kendala dengan pelaksanaan KTSP, apalagi bagi
guru yang masih melaksanakan kurikulum 1994 dan akan segera melaksanakan KTSP.
Kesulitan tersebut yaitu kesulitan dalam penyusunan silabus. Selain guru harus
mampu mengembangkan metode pembelajaran yang movatif melaksanakan sistem
penilaian berkelanjutan bukan hal yang mudah yang dapat langsung teratasi oleh
guru hanya dengan mendengarkan sosialisasi dan workshop.[17]
[1] Suparman, Model Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) SMP dan MTs. (Solo: PT. Tiga Serangkai
Mandiri, 2007), hal. 1
[2] Nasution S. MA. Asas-Asas
Kurikulum. (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hal. 7
[3] Hamid, Hasan. “Pengembangan dan Implementasi KTSP, Konsep dan Substansi”. Makalah
disajikan dalam Seminar Nasional KTSP, UNNES, Semarang, 15 Maret 2007.
[4] Suparman, “Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) SMP dan MTs”.
(Solo:PT. Tiga Serangkai Mandiri, 2007), hal. 1
[5] Ibid,
hal. 2
[6] Endang Furkon,
http://furkon-as.blogspot.com/2008/06/upaya-guru-dalam-meningkatkan.html,
diakses pada tanggal 17 Juli 2009
[7] Ibid
[8] Ali, Muhammad, “Pengembangan Pendidikan Agama di Sekolah”, 1 September 2010
[9] Syah, Muhibbin, “Psikologi Pendidikan”, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2000),
hal. 20
[10] Soetomo. “Dasar - dasar Interaksi Belajar Mengajar”. (Surabaya: Usaha
Nasional, 1993), hal. 150.
[11] Djamarah, Syaiful Bahri. 2000. “Strategi Belajar Mengajar”. (Jakarta:
Penerbit Rineka Cipta, 2000), hal. 107.
[12]
Surakhmad, Winarno. “Pengantar
Interaksi Belajar Mengajar”. (Bandung: Tarsito, 1998), hal. 103
[13] Sudjana, Nana. “Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar”. (Jakarta: Bina Aksara, 2004),
hal. 78
[14] Surakhmad, Winarno. “Pengantar Interaksi Belajar Mengajar”. (Bandung: Tarsito, 1998),
hal. 102
[15] M. Uzer Usman, Lilies Setiawati. “Upaya Optimalisosi Belajar Mengajar”.
(Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1993), hal. 123.
[16] Hanafie, “Artikel Plus Minus Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)”, 28
Februari 2007
[17] Ibid