BAB II
LANDASAN TEORITIS
A.
Pengertian
dan Latar Belakang KTSP
1.
Pengertian KTSP
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan adalah :
Seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu. Tujuan tertentu ini meliputi tujuan pendidikan nasional serta
kesesuaian dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan
peserta didik. Oleh sebab itu kurikulum disusun oleh satuan pendidikan untuk
memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang
ada di daerah. [1]
Berdasarkan kutipan tersebut dapat disimpulkan
bahwa Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan adalah kurikulum yang dikembangkan
berdasarkan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta
didik. Meskipun demikian, penyusunannya juga harus memperhatikan tujuan
pendidikan nasional.
Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) yang didasarkan pada karakteristik sekolah ini harus berdasarkan standar
nasional pendidikan agar tujuan pendidikan nasional dapat tercapai. Standar
nasional pendidikan itu sendiri terdiri atas standar isi, proses, kompetensi
lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan
penilaian pendidikan. Dua dari delapan standar nasional pendidikan tersebut,
yaitu Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) merupakan acuan
utama bagi satuan pendidikan atau sekolah dalam mengembangkan kurikulumnya.
Adapun yang menjadi ciri dari KTSP adalah:
a.
Memberikan
kebebasan kepada tiap-tiap sekolah untuk meyelenggarakan program pendidikan
sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah, kemampuan peserta didik, sumber daya
yang tersedia dan kekhasan daerah.
b.
Orang tua dan
masyarakat dapat terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran.
c.
Guru harus
mandiri dan kreatif.
d.
Guru
diberikan kebebasan untuk memanfaatkan berbagai metode pembelajaran.[2]
Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa ciri
dari KTSP adalah pemberian otonomi seluas-luasnya kepada sekolah dalam
pengembangan kurikulum sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah, kemampuan
peserta didik, sumber daya yang tersedia dan kekhasan daerah. Dalam
pengembangan tersebut juga melibatkan orang tua siswa yang selama ini
dikesampingkan perannya. Selain itu dalam KTSP guru dituntut lebih kreatif dan
mereka diberikan kebebasan dalam menerapkan metode pembelajaran.
Sebenarnya KTSP tidak jauh berbeda dengan KBK.
Tentang hal ini Muhammad Joko Susilo menjelaskan bahwa “Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan diolah dari Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL)
yang masih menekankan pada kompetensi siswa. Rumusan tujuan masih berstandar
kompetensi, proses pembelajarannya masih berbasis kompetensi dan lain
sebagainya sebagaimana pada KBK.” [3]
Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan
bahwa KTSP sebenarnya masih sama dengan KBK. Yang membedakan hanya pada pemberian
otonomi bagi guru dalam hal perumusan indikator. Selain itu baik KBK maupun
KTSP kedua-keduanya sama-sama berbasis kompetensi dan menganut prinsip belajar
tuntas
Kompetensi ini sendiri mengandung beberapa aspek.
Menurut Gordon sebagaimana dikutip E. Mulyasa, aspek-aspek yang terkandung
dalam konsep kompetensi adalah sebagai berikut :
1.
Pengetahuan (knowledge),
yaitu kesadaran dalam bidang kognitif.
2.
Pemahaman (understanding),
yaitu kedalaman kognitif dan afektif
yang dimiliki oleh individu.
3.
Kemampuan (skill),
adalah sesuatu yang dimiliki oleh individu untuk melakukan tugas atau pekerjaan
yang dibebankan kepadanya.
4.
Nilai (value),
adalah suatu
standar prilaku yang telah diyakini dan secara psikologis telah menyatu dalam
diri seseorang.
5.
Sikap (attitude),
yaitu perasaan atau reaksi terhadap suatu rangsangan yang datang dari luar.
6.
Minat (interest), adalah kecenderungan seseorang untuk
melakukan suatu perbuatan. [4]
Berdasarkan kutipan di atas dapat dipahami bahwa
kompetensi memiliki enam aspek, yaitu pengetahuan, pemahaman, kemampuan, nilai,
sikap dan minat. Semua aspek tersebut harus tercermin pada kebiasaan dan
prilaku siswa agar ia dapat disebut sebagai siswa yang sudah berkompeten.
2.
Latar
Belakang KTSP
Kurikulum 2006 atau lebih dikenal dengan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan “hasil penegasan dari atau sejalan
dengan kebijakan desentralisasi.”[5] Hal
ini disebabkan sekolah lebih megetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman
bagi dirinya, sehingga dia dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang
tersedia. Sekolah lebih mengetahui kebutuhan lembaganya, khususnya input
pendidikan yang akan dikembangkan dan didayagunakan dalam proses pendidikan
sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan peserta didik. Oleh sebab itu “pegambilan
keputusan yang yang dilakukan oleh sekolah lebih cocok untuk memenuhi kebutuhan
sekolah. Karena itu pihak sekolahlah yang paling mengetahui apa yang terbaik
bagi sekolahnya. Atas alasan tersebutlah KTSP dicanangkan.”[6]
Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan
bahwa KTSP adalah wujud respon pemerintah terhadap adanya otonomi daerah. Otonomi
dalam penyelenggaraan pendidikan tersebut berimplikasi pada perubahan sistem
manajemen sekolah dari pola sentralisasi ke desentralisasi dalam pengelolaan
pendidikan yang demokratis.
Secara yuridis pelaksanaan dan penerapan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan didasarkan pada:
1.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
2.
Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan. Ketentuan di dalam PP 19/2005 yang mengatur KTSP, adalah Pasal 1 yang
menjelaskan bahwa KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan
dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan; Pasal 5 menjelaskan bahwa standar
isi memuat kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar, KTSP, dan
kalender pendidikan/akademik. Pasal 14 menjelaskan bahwa kurikulum sekolah
dapat memasukkan pendidikan berbasis keunggulan lokal. Pasal 16 menjelaskan
bahwa penyusunan KTSP berpedoman pada panduan yang disusun BSNP. Pasal 17 menjelaskan
bahwa KTSP dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah/karakteristik
daerah, sosial budaya masyarakat setempat, dan peserta didik.
3.
Standar Isi,
yang mencakup lingkup materi dan tingkat kompetensi untuk mencapai kompetensi
lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Termasuk dalam SI adalah :
kerangka dasar dan struktur kurikulum, Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi
Dasar (KD) setiap mata pelajaran pada setiap semester dari setiap jenis dan
jenjang pendidikan dasar dan menengah. SI ditetapkan dengan Permendiknas No. 22
Tahun 2006.
4.
Standar Kompetensi
Lulusan (SKL), yang merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup
sikap, pengetahuan dan keterampilan sebagaimana yang ditetapkan dengan
Permendiknas No. 23 Tahun 2006. [7]
Berdasarkan kutipan tersebut dapat dipahami bahwa pelaksanaan
KTSP dipayungi sangat banyak payung hukum, mulai dari Peraturan Menteri,
Peraturan Pemerintah, bahkan Undang-Undang. Hal ini menunjukkan keseriusan
pemerintah dalam menerapkannya. Oleh sebab itu setiap satuan pendidikan perlu
menyusun kurikulumnya masing-masing.
Penerapan KTSP di satuan pendidikan dilakukan
secara bertahap. Sehubungan dengan kapan satuan pendidikan harus mengembangkan
KTSP ini, disebutkan bahwa:
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor
26 Tahun 2006 dinyatakan bahwa Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah:
a.
Dapat
menerapkan KTSP mulai tahun pelajaran 2006/2007.
b.
Harus mulai
menerapkannya paling lambat tahun pelajaran 2009/2010.
c.
Bagi satuan
pendidikan yang telah melaksanakan ujicoba kurikulum 2004 secara menyeluruh
dapat menerapkannya untuk setiap tingkatan kelasnya mulai tahun pelajaran
2006/2007.
d.
Bagi satuan
pendidikan dasar dan menengah yang belum melaksanakan ujicoba kurikulum 2004,
dapat menerapkannya bertahap dalam waktu paling lama 3 tahun, dengan tahapan
sebagai berikut:
(1)
Untuk SD/MI/SDLB:
-
Tahun I :
kelas 1 dan 4
-
Tahun II :
kelas 1, 2, 4, dan 5
-
Tahun III :
kelas 1, 2, 3, 4, 5, dan 6.
(2)
Untuk
SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK, SMPLB dan SMALB:
-
Tahun I :
kelas 1
-
Tahun II :
kelas 1 dan 2
-
Tahun III :
kelas 1, 2, dan 3. [8]
Berdasarkan kutipan tersebut dapat disimpulkan
bahwa implementasi KTSP dimulai sejak tahun pelajaran 2006/2007 dan paling
lambat tahun pelajaran 2009/2010. Untuk sekolah yang sudah melaksanakan KBK
(kurikulum 2004) secara menyeluruh pada semua tingkatan kelas, maka pada tahun
pelajaran 2006/2007 KTSP dapat dilaksanakan langsung untuk semua tingkatan
kelas. Sedangkan bagi sekolah yang belum menerapkan KBK, penerapan KTSP dapat
dilakukan secara bertahap sehingga pada tahun pelajaran 2009/2010 semua
tingkatan kelas telah menerapkannya.
B.
Strategi
Implementasi KTSP di Sekolah
Dalam upaya implementasi ini diperlukan
strategi-strategi yang mempercepat keberhasilannya. Strategi merupakan
siasat-siasat yang digunakan untuk melakukan suatu hal agar lebih berhasil.
Selain itu strategi diperlukan agar pelaksanaan suatu program dapat lebih
efektif dan efesien. Efektif mengandung makna dalam pelaksanaannya dapat
dilakukan cepat dan tepat, sementara efesiensi memungkinkan adanya penghematan
baik dalam konteks finansial maupun waktu.
Implementasi adalah “penerapan sesuatu yang
memberikan efek atau dampak.”[9]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa implemetasi KTSP merupakan suatu proses
penerapan kebijakan dan konsep atau inovasi dalam suatu tindakan praktis
sehingga memberikan dampak, baik berupa pengetahuan, keterampilan, nilai, dan
sikap. Implemetasi KTSP adalah bagaimana meyampaikan pesan-pesan kurikulum tersebut
kepada peserta didik untuk membentuk kompetensi mereka sesuai dengan
karakteristik dan kemampauan mereka masing-masing.
Penerapan KTSP sebagai kurikulum pengganti Kurikulum
Berbasis Kompetensi merupakan pembaruan. Sebagai hal baru maka agar
penerapannya efektif dan efesien haruslah ditempuh berbagai strategi dalam
pelaksanaannya. Adanya strategi-strategi tersebut juga memungkinkan pelaksana
dapat menyusun suatu program sehingga langkah-langkah yang ditempuh lebih
sistematis.
Sehubungan dengan strategi yang harus dilakukan
dalam penerapan suatu kurikulum, E. Mulyasa menyebutkan tujuh jurus yang dapat
ditempuh. Adapun ketujuh jurus tersebut adalah :
1.
Mensosialisasikan
perubahan di sekolah.
2.
Menciptakan
lingkungan yang kondusif.
3.
Mengembangkan
fasilitas dan sumber belajar.
4.
Mendisiplinkan
peserta didik.
5.
Mengembangkan
kemandirian kepala sekolah.
6.
Mengubah
paradigma (pola pikir) guru.
7.
Memberdayakan
tenaga kependidikan di sekolah.[10]
Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa
agar penerapan KTSP dapat sukses perlu dilakukan beberapa hal yaitu mensosialisasikannya,
mengkondusifkan lingkungan, mengembangkan fasilitas dan sumber belajar, membina
disiplin siswa, memandirikan kepala sekolah, mengubah pola pikir guru, dan
memberdayakan guru sebagai ujung tombak di lapangan.
Sosialisasi dari suatu hal baru yang akan
dilaksanakan amat penting agar terwujudnya pemahaman guru tentang KTSP. Bahkan “sebelum
proses implementasi lebih jauh di tingkat sekolah, maka setidaknya budaya
mengenal kurikulum harus ditumbuhsuburkan.”[11] Adanya
pemahaman guru ini memungkinkan tertunjangnya pelaksanaan di lapangan. Dapat
dibayangkan bila seseorang disuruh mengerjakan sesuatu yang tidak dipahami,
niscaya arah dari pekerjaan yang dilakukan tersebut tidak diketahui. Akibatnya pelaksanaan
KTSP menjadi sangat jauh dari tujuan pemberlakuannya.
Lingkungan merupakan hal yang sangat menentukan
dalam pembelajaran. Penerapan KTSP di sekolah dengan sendirinya menuntut adanya
perubahan pelaksanaan pembelajaran di kelas. Oleh sebab itu lingkungan kelas
dalam sekolah harus dikondisikan agar pembelajaran maksimal. Misalnya jumlah
siswa dalam kelas tidak terlalu banyak.
Fasilitas dan sumber belajar merupakan hal yang
sangat penting dalam usaha menjadikan pembelajaran berhasil dengan baik. Agar
penerapan KTSP berhasil maka ketersediaan fasilitas dan sumber belajar ini
sangat penting diperhatikan dan direncanakan. Banyak cara yang dapat ditempuh
dalam mengembangkan hal ini, salah satunya adalah membuat sistem moving class. Adanya moving class ini menyebabkan adanya
kelas sebagai laboratrium penalaran. Misalnya kelas Agama Islam hanya
diperuntukkan untuk proses pembelajaran bidang studi tersebut, dan di dalamnya
disediakan bermacam fasilitas dan sumber belajar Agama Islam.
Dari sekian banyak jurus yang telah dikemukakan di
atas, strategi yang paling penting yang harus dilakukan agar penerapan KTSP efktif,
efesien, dan berhasil dalam pelaksanaannya sebagaimana yang telah
dicita-citakan adalah memberdayakan guru. Hal ini disebabkan guru adalah pelaksana
langsung dari penerapan KTSP tersebut. Bagaimanapun lengkapnya fasilitas dan
sumber belajar, disiplinnya peserta didik, hebatnya kepemimpinan kepala
sekolah, dan kondusifnya lingkungan, tanpa guru yang melaksanakan langsung KTSP
menjadi sia-sia. Sekali lagi, peran guru tak dapat digantikan oleh apapun,
meskipun alat yang sangat canggih.
C.
Problema
Implementasi KTSP di Sekolah
Hampir tidak ada pekerjaan yang dilaksanakan oleh
seseorang maupun suatu lembaga berjalan mulus dan tidak mengalami problema
walaupun perencanaannya sangat baik. Problema tersebut pasti ada meskipun hanya
sedikit. Demikian pula dengan penerapan KTSP sebagai kurikulum baru pengganti
KBK.
Di antara sekian banyak problema yang dialami
dalam penerapan KTSP dapat dikelompokkan menjadi problema finansial, problema
SDM pelaksana, dan problema daya dukung.
1.
Problema
finansial
Tak dapat dipungkiri bahwa dana
mutlak diperlukan dalam melaksanakan sesuatu. Demikian halnya dengan penerapan KTSP.
Dana diperlukan untuk berbagai hal, misalnya sosialisasi perubahan kurikulum
serta cara pengoperasionalannya, pengadaan fasilitas, pengadaan sumber belajar,
dan lain-lain. Ketersediaan dana yang mencukupi membuat segala program dapat
lebih mudah dilaksanakan. Namun sebaliknya apabila dana yang dimiliki sekolah
sangat minim, maka program yang sudah direncanakan menjadi terhambat untuk
dilaksanakan.
Tentang pentingnya dana dalam
penyelenggaraan pendidikan, E. Mulyasa menjelaskan :
Dalam penyelenggaraan pendidikan, keuangan dan
pembiayaan merupakan potensi yang sangat menentukan dan merupakan bagian tak
terpisahkan dalam kajian manajemen pendidikan. Komponen keuangan dan pembiayaan
pada suatu sekolah merupakan komponen produksi yang menentukan terlaksananya
proses belajar-mengajar di sekolah bersama komponen-komponen lain. Dengan kata
lain setiap kegiatan yang dilakukan sekolah memerlukan biaya, baik itu disadari
maupun tidak disadari.[12]
Berdasarkan pendapat tersebut dapat
disimpulkan bahwa keuangan sekolah berjaitan erat secara langsung dengan keberlangsungan
proses pembelajaran. Sementara tanpa proses pembelajaran, keberadaan sekolah
menjadi sia-sia saja. Ini berarti bahwa pendanaan merupakan hal penting dalam
penerepan KTSP. Dengan sendirinya
pendanaan merupakan problema tersendiri dalam penerapan KTSP.
2.
Problema SDM
pelaksana
Sebelum pemberlakuan KTSP sebagai
kurikulum, telah terlebih dahulu adanya KBK. Kalau dikaji, hanya terdapat sedikit
perbedaan antara kedua kurikulum tersebut, bahkan memiliki persamaan yang
sangat mendasar yaitu masih sama-sama menekankan pada pencapaian kompetensi
siswa. Namun demikian ada juga hal-hal yang membedakan antara kedua kurikulum.
Pemberlakuan KTSP sebagai kurikulum
yang berperan sebagai pengganti telah secara langsung merombak banyak hal yang
harus dikerjakan oleh guru sehari-hari, terutama harus menyusun indikator dari
Kompetensi Dasar yang telah digariskan pemerintah. Perubahan juga terjadi dalam
penyiapan perangkat pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, sampai pelaksanaan
evaluasi. Adanya perubahan ini secara langsung berakibat pada pelaksana di
lapangan, terutama guru. Mau tidak mau, mampu tidak mampu, guru harus
menyelaraskan segala hal yang harus dilakukannya dengan harapan dan tuntutan
pemberlakuan KTSP itu sendiri.
Pergeseran penekanan kurikulum
tersebut menyebabkan Sumber Daya Manusia (SDM) pelaksana, khususnya guru, harus
seimbang dengan harapan kurikulum. Ketidakseimbangan antara kualitas SDM guru
dengan harapan KTSP menjadi batu sandungan yang amat besar dalam penerapannya.
Bagaimana mungkin mengaharapkan perubahan, sementara orang yang akan
melaksanakan perubahan tidak mengerti apa yang dilakukan agar dapat terjadi
perubahan.
Selain guru, sumber daya kepala sekolah juga tak
kentara perannya. Pernyataan ini tidak berlebihan karena kepala sekolah adalah
pengambil kebijakan di lapangan. Oleh sebab itu kepala sekolah hendaknya
memiliki “keterampilan teknis (technical skill), keterampilan manusiawi
(human skill), keterampilan konseptual (conceptual skill)”.[13]
Keterampilan teknis merupakan keterampilan
menerapkan pengetahuan teoritis ke dalam tindakan praktis, kemampuan memecahkan
masalah melalui taktik yang baik, atau kemampuan menyelesaikan tugas secara
sistematis. Sementara keterampilan manusiawi bertalian dengan kemampuan untuk
menempatkan diri dalam kelompok dan menjalin komunikasi yang efektif. Adapun
keterampilan konseptual berbentuk kecakapan untuk menformulasikan pikiran,
memahami teori-teori dan melakukan aplikasinya.
Selain guru dan kepala sekolah, penerapan KTSP
juga menuntut semua civitas sekolah memiliki keterampilan yang memadai. Tata
usaha juga sangat berperan dalam kesuksesan penerapan KTSP, misalnya dalam
pengelolaan manajemen sekolah.
3.
Problema daya
dukung
Sebagaimana dalam KBK, penerapan KTSP
yang juga masih menganut prinsip belajar tuntas menuntut “pelaksanaan
pembelajaran dengan lebih menekankan pada kegiatan individual meskipun
dilaksanakan secara klasikal, memperhatikan perbedaan peserta didik,
mengupayakan lingkungan belajar yang kondusif dengan menggunakan metode dan
media yang bervariasi.”[14] Hal
ini mengisyaratkan bahwa siswa dalam kelas tidak terlalu banyak. Banyaknya
siswa dalam kelas menyebabkan guru kesulitan dalam mewujudkan pembelajaran yang
berorientasi pada individual siswa.
Namun terjadi permasalahan, KTSP menuntut
pelaksanaan pembelajaran difokuskan pada individu bukan klasikal, sementara kelas
dipenuhi oleh banyak sekali siswa yang membuat guru kesulitan melaksanakannya. Kenyataan
ini memerlukan penyelesaian dengan memperbanyak kelas paralel sehingga setiap
kelas hanya diduduki oleh jumlah siswa yang memungkinkan pelaksanaan
pembelajaran dengan leluasa.
Pengadaan kelas paralel yang lebih
banyak menuntut adanya penambahan ruang belajar yang banyak serta tenaga
pengajar tambahan. Ini juga merupakan suatu yang hampir mustahil dilaksanakan
di tengah kondisi sekarang. Solusinya adalah dengan memaksimalkan daya dukung stakeholder, termasuk masyarakat.
Permasalahan daya dukung ini juga
diperparah oleh kurang tersedianya sarana belajar dan sumber belajar. Sebagai
contoh, sekolah dalam menerapkan KTSP memerlukan perangkat komputer dan
multimedia, namun sedikit sekali sekolah yang memiliki hal tersebut. Dengan
demikian dapatlah dipahami bahwa salah satu problema penerapan KTSP di sekolah
adalah daya dukung.
D.
Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Implementasi KTSP di Sekolah
Membicangkan faktor yang mempengaruhi implementasi
sesuatu sama halnya dengan mempertanyakan faktor-faktor pendukung dan
penghambat. Faktor pendukung dan faktor penghambat merupakan dua hal berbeda
yang berada di dua kutub berbeda dan saling bertolak belakang. Ibarat sekeping
uang logam, faktor pendukung berada pada sisi muka sementara faktor penghambat
pada sisi yang lain. Namun kedua sisi tersebut selalu ada dan tidak mungkin
dihilangkan.
Jika faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan KTSP
mampu memuluskan pelaksanaannya, maka faktor tersebut disebut faktor pendukung.
Sebaliknya jika faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut justru menjadi aral
pelaksanaannya, maka dikatakan faktor penghambat. Oleh sebab itu, pembahasan
tentang faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan KTSP ini akan dibahas
secara bersamaan.
Banyak faktor yang secara langsung menimbulkan
problema dalam penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Secara umum
dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok besar, yakni
perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software) dan
perangkat pikir (brainware).
- Perangkat keras (hardware)
Kesuksesan pelaksanaan KTSP sangat dipengaruhi
oleh ada tidaknya perangkat keras. Adapun bentuk-bentuk dari perangkat keras
tersebut adalah ruang kelas, perpustakaan (buku), sarana, dan sebagainya.
Supaya pelaksanaan KTSP berhasil maksimal, maka semua perangkat keras tersebut
harus terpenuhi.
Ketaktersediaan ruang kelas yang mencukupi
berimbas pada jumlah siswa dalam kelas. Sebagaimana telah disebutkan di atas,
bahwa salah satu landasan teoritis diberlakukannya KTSP adalah adanya
pergeseran dari pembelajaran klasikal ke arah pembelajaran individual. Dapat
dibayangkan bila kelas dihuni oleh siswa yang melampaui kapasitas idealnya
tentu akan merepotkan bahkan menghambat guru dalam melangsung pembelajaran. Hal
ini mengingat pembelajaran dalam KTSP adalah pembelajaran individual, bukan
pembelajaran klasikal. Tentang jumlah siswa ideal dalam sebuah kelas,
Suprayekti menjelaskan bahwa “jumlah siswa yang ideal 15 sampai 20 orang,
karena jumlah siswa besar akan berpengaruh pada partisipasi siswa”. [15]
Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa
ketersediaan ruang kelas sangat mempengaruhi partisipasi siswa di kelas.
Sementara KTSP menginginkan pembelajaran secara individual. Dengan sendirinya
kondisi ruang kelas turut mempengaruhi kesuksesan pelaksanaan KTSP. Dalam
kalimat yang lain dapat dikatakan bahwa tersedianya ruang kelas yang memadai
menjadi pendukung pelaksanaan KTSP, sebaliknya ruang kelas yang tidak mencukupi
akan menjadi penghambat penerapannya.
Seperti halnya ruang kelas, ketersediaan buku di
perpustakaan juga akan mempengaruhi kelancaran pelaksanaan KTSP. Mengenai
pentingnya perpustakaan dalam pelaksanaan KTSP ditegaskan oleh Bambang Dwi
Prasetyo bahwa “sumber belajar dalam pembelajaran tidak hanya guru, melainkan
banyak sumber lain terutama buku. Oleh sebab itu ketersediaan buku di
perpustakaan sangat menunjang penerapan kurikulum. Perlu ditegaskan bahwa
perpustakaan adalah sumber belajar dan bagian integral dari sistem
persekolahan”.[16]
Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa
sumber belajar dalam KTSP tidak hanya guru semata namun banyak sumber lain
terutama buku yang ada di perpustakaan. Ini berimplikasi pada pentingnya
perpustakaan dalam pelaksanaan KTSP. Kelengkapan buku di perpustakaan akan
menjadi faktor pendukung pelaksanaan KTSP, demikian juga sebaliknya,
perpustakaan yang hanya sebagai simbol dalam arti tidak lengkapnya buku akan
menjadi aral dalam menyukseskan pelaksanaan KTSP.
Hal ini menandakan bahwa fasilitas merupakan suatu
hal yang perannya sangat besar dalam kesuksesan pelaksanaan KTSP. Dalam redaksi
kalimat yang lain dapat dinyatakan bahwa tersedianya fasilitas belajar yang
memadai menjadi pendukung bagi suksesnya pelaksanaan KTSP, sebaliknya
kekurangan fasilitas yang dimiliki menjadi hambatan pelaksanaannya.
- Perangkat lunak (software)
Perangkat lunak memegang peran yang sangat penting
dalam kesuksesan pelaksanaan KTSP. Adapun yang dapat dikategorikan dalam
perangkat lunak meliputi program pembelajaran, sosialisasi dan kurikulum itu
sendiri.
Program pembelajaran merupakan tanggung jawab guru
sebagai ujung tombak dan pihak yang langsung bergelut dalam proses pembelajaran
di sekolah. Tentang apa dan bagaimana mengembangkan program pembelajaran telah
penulis bahas di depan, yakni guru harus merancang silabus, RPP, dan alat
evaluasi untuk melakukan asesmen. Kemampuan guru dalam merancang program pembelajaran
merupakan faktor penentu keberhasilan dan kesuksesan pelaksanaan KTSP.
Munculnya hal baru menuntut adanya publikasi yang
luas dan menyeluruh kepada pihak-pihak yang menjadi pelaksana hal baru
tersebut. Perubahan kurikulum dari KBK ke KTSP juga menuntut hal yang sama.
Dengan demikian sosialisasi merupakan hal yang sangat penting dalam menjamin
suksesnya pelaksanaan KTSP di lapangan. Menurut
E. Mulyasa, pentingnya sosialisasi ini agar “kurikulum baru yang ditawarkan
dapat dipahami dan diterapkan secara optimal, karena sosialisasi merupakan
langkah penting yang akan menunjang dan menentukan keberhasilan perubahan
kurikulum”. [17]
Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa
sosialisasi perubahan kurikulum dan cara melaksanakannya memiliki korelasi
positif dengan kesuksesan pelaksanaannya. Ini berarti sosialisasi yang baik
adalah faktor pendukung demi kesuksesan pelaksanaannya. Demikian pula
sebaliknya, sosialisasi yang kurang baik akan menjadi penghambat dalam upaya
melaksanakannya.
- Perangkat pikir (brainware)
Mewacanakan perangkat pikir dalam pelaksanaan
kurikulum pendidikan pada hakikatnya adalah memperbincangkan orang-orang (stakeholders)
yang secara langsung atau tidak langsung terlibat di dalamnya. Pihak-pihak yang
secara langsung terlibat dalam proses pendidikan adalah guru, kepala sekolah,
dan anak didik. Sementara pihak yang secara tidak langsung juga berperan dalam
proses pendidikan di sekolah adalah komite sekolah, masyarakat, dan pengambil
kebijakan pendidikan (pemerintah).
1.
Kepala
sekolah
Peranan kepala sekolah dalam kelangsungan dan
kesuksesan sekolah sangat penting. Hal ini dapat ditilik dari pernyataan E.
Mulyasa bahwa “erat hubungannya antara mutu kepala sekolah dengan berbagai
aspek kehidupan sekolah... kepala sekolah bertanggung jawab atas penyelenggaraan
kegiatan pendidikan, administrasi sekolah, pembinaan tenaga kependidikan
lainnya, dan pendayagunaan serta pemeliharaan sarana dan prasarana”.[18]
Berdasarkan kutipan tersebut dapat disimpulkan
bahwa peran kepala sekolah sangat penting dalam mewujudkan suksesnya
pelaksanaan KTSP, hal ini disebabkan tanggung jawabnya yang sangat penting. Dengan
sendirinya mutu sumber daya kepala sekolah yang kurang menjadi faktor penyebab munculnya
problema penerapan KTSP di sekolah.
2.
Guru
Guru merupakan orang yang secara langsung
mempengaruhi pelaksanaan apapun di sekolah, terutama menyangkut pembelajaran. Arief
Rachman menjelaskan bahwa “guru adalah penyangga utama sistem pendidikan.
Setiap harinya guru hadir di kelas dengan 40 – 48 siswa, dan berusaha untuk
mentransformasikan pengetahuan dan keterampilan kepada mereka”.[19]
Peran guru dalam suatu proses pendidikan tidak
akan tergantikan oleh apapun, meskipun ditemukannya berbagai media pembelajaran
yang dapat meminimalkan peran guru. Sehingga sungguh tepat kesimpulan Ronald
Brand sebagaimana dikutip oleh FA. Agus Wahyudi, bahwa “hampir semua usaha
reformasi pendidikan seperti pembaharuan kurikulum dan penerapan metode
mengajar baru akhirnya tergantung kepada guru”. [20]
Guru memiliki peranan yang sangat penting, terutama
dalam proses pembelajaran, sementara pembelajaran adalah inti dari
keberlangsungan penerapan KTSP di sekolah. Setiap guru harus mampu mengarahkan
kegiatan belajar siswa agar mencapai keberhasilan belajar (kinerja akademik)
sebagai perwujudan terhadap indikator pembelajaran, kompetensi dasar, dan
standar kompetensi. Apapun kurikulum yang diterapkan, peranan guru seperti ini
tidak dapat dihilangkan, bahkan semakin meningkat. Konsekuensinya, tugas dan
tanggung jawab guru juga semakin komplek dan berat pula. Dengan demikian guru
harus mampu memaksimalkan fungsinya dalam pembelajaran dengan cara meningkatkan
dan mengembangkan kompetensinya.
Menurut Gagne sebagaimana dikutip Muhibbin Syah,
guru dalam proses pembelajaran berfungsi sebagai “designer of instruction
(perancang pembelajaran), manager of instruction (pengelola
pembelajaran), dan evakuator of student learning (penilai belajar
siswa)”.[21]
Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa
fungsi guru dalam pembelajaran secara umum adalah sebagai designer of instruction
(perancang pembelajaran), manager of instruction (pengelola
pembelajaran), dan evaluator of student learning (penilai belajar
siswa). Dalam kaitannya dengan pelaksanaan KTSP guru sebagai designer of
instruction harus mampu mengembangkan silabus, RPP, dan alat evaluasi.
Peran guru sebagai manager of instruction menuntutnya untuk mampu
mengelola (meyelenggarakan dan mengendalikan) seluruh tahapan proses
pembelajaran seefektif dan seefesien mungkin. Pada pembelajaran dengan pola KTSP,
guru sebagai manager of instruction harus :
a.
Menguasai dan
memahami bahan dan hubungannya dengan bahan lain dengan baik.
b.
Menyukai apa
yang diajarkannya dan menyukai mengajar sebagai suatu profesi.
c.
Memahami
perbedaan peserta didik.
d.
Memahami dan
menggunakan metode yang bervariasi dalam pembelajaran.
e.
Selalu
mempersiapkan proses pembelajaran.
f.
Menghubungkan pengalaman yang lalu
dengan kompetensi yang akan dikembangkan.[22]
Dari kutipan di atas dapat
disimpulkan bahwa sebagai manager of instruction pada pembelajaran dalam
KTSP guru harus menguasai substansi pelajarannya secara detil, mampu memahami
perbedaan peserta didik dan mengelompokkannya berdasarkan perbedaan yang ada,
memahami dan menerapkan metode-metode pembelajaran, serta harus selalu
merencankan dan mempersiapkan pembelajaran.
Andaikata guru tidak mampu
menjalankan peran dan tugasnya sebagai perancang pembelajaran, pengelola
pembelajaran, dan penilai belajar siswa, maka hal itu semua menjadi suatu
faktor yang menyebabkan munculnya problema yang paling besar dalam penerapan KTSP
di sekolah.
3.
Komite
sekolah
Peranan masyarakat dalam rangka
usaha pendidikan di sekolah sangat penting. Menyahuti pentingnya hal tersebut, maka
diundangkanlah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan
Nasional yang di dalamnya termasuk pentingnya Dewan Pendidikan di tingkat
Kabupaten/Kota dan Komite Sekolah. Bahkan Mendiknas menindaklanjutinya dengan
mengeluarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002 tanggal 2
April 2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Hal ini jelas
menandakan bahwa peran Komite Sekolah teramat penting dalam kelangsungan
pendidikan di sekolah.
Untuk mengetahui seberapa penting
peran komite sekolah, maka terlebih dahulu perlu diketahui apa saja yang
menjadi peran dan tugas komite sekolah. Jamaluddin Idris menjelaskan bahwa
komite sekolah memiliki empat peran penting dalam menjadi parter sekolah untuk
melangsungkan pembelajaran, yaitu sebagai : “badan pertimbangan (advisory agency), badan pendukung (supporting agency), badan pengontrol (controlling agency), dan badan mediasi (mediator agency).”[23]
Sebagai badan pertimbangan, komite
sekolah harus mampu memberikan masukan dan pertimbangan dalam penyusunan program
kerja sekolah, termasuk RAPBS. Sebagai badan pendukung, komite sekolah harus
mampu mendukung segala program sekolah, seperti memfasilitasi kebutuhan sarana
dan prasaran pendidikan di sekolah. Sementara sebagai badan pengontrol, komite
sekolah harus turut berperan dalam mengontrol perencanaan pendidikan di
sekolah, pelaksanaannya, serta turut aktif dalam memantau out put pendidikan. Adapun sebagai mediator mengharuskan komite
sekolah menjadi jembatan antara sekolah dengan orang tua siswa atau masyarakat.
Semua tugas dan peran tersebut harus
mampu dilakoni oleh lembaga yang disebut komite sekolah dengan maksimal. Jika
sebagian dari tugas dan peran tersebut tidak mampu dijalankan, maka akan
menjadi permasalahan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Ini juga
berakibat pada munculnya problema penerapan KTSP di sekolah.
4.
Siswa
Selain guru, siswa juga menjadi faktor penentu
dalam kesuksesan pelaksanaan KTSP. Sungguh tidak ada artinya guru bila siswa
tidak ada, demikian halnya tidak ada guna siswa kalau guru tidak ada. Hal ini
menunjukkan bahwa dua komponen tersebut merupakan hal utama dalam suatu proses
pendidikan.
Banyak hal dari siswa yang mempengaruhi
keberhasilan pelaksanaan suatu kurikulum. Secara garis besar dapat
dikelompokkan menjadi kondisi fisik dan kondisi psikis. Kondisi fisik siswa
berpengaruh pada pembelajaran dengan pola KTSP karena kondisi fisik turut
berpengaruh pada produktivitas belajar, terutama menurunnya kualitas ranah
kognitif bila kondisi tubuh seseorang lemah. Muhibbin Syah menyatakan :
Kondisi organ tubuh yang lemah, apalagi disertai
pusing-pusing kepala misalnya, dapat menurunkan kualitas ranah cipta (kognitif)
sehingga materi yang dipelajarinya pun kurang atau tidak berbekas...Kondisi
organ-organ khusus siswa, seperti tingkat kesehatan indera pendengar dan indera
penglihat, juga sangat mempengaruhi kemampuan siswa dalam menyerap informasi
dan pengetahuan. [24]
Dari kutipan di atas dapat
disimpulkan bahwa kondisi fisik siswa turut mempengaruhinya dalam belajar,
terutama indera pendengaran dan penglihatan yang merupakan pintu gerbang
masuknya pengetahuan ke dalam memori individu. Kondisi kesehatan juga turut
berpengaruh dalam aktivitas belajar. Kondisi kesehatan yang tidak optimal akan
menimbulkan kelesuan, lekas mengantuk, kurang semangat, mudah pusing, lekas
lelah, buyar konsentrasi, dan sebagainya.
Sebagaimana faktor fisik, faktor psikis
(psikologis) juga mempengaruhi kuantitas dan kualitas belajar seseorang. Namun,
di antara faktor-faktor tersebut yang pada umumnya dipandang lebih esensisal
adalah “inteligensi, sikap, bakat, minat, dan motivasi”. [25]
Dari kutipan di atas dapat
disimpulkan bahwa faktor psikis siswa sangat berperan pada kuantitas dan
kualitas belajarnya. Tingkat kecerdasan atau inteligensi (IQ) siswa tak dapat
diragukan lagi sangat mempengaruhi keberhasilan belajarnya. Sikap seorang siswa
terhadap suatu mata pelajaran sangat mempengaruhi aktivitas belajarnya. Bakat
sangat mempengaruhi seseorang dalam belajar. Minat merupakan daya dukung yang
turut mempengaruhi seseorang dalam belajar. Motivasi merupakan daya (kekuatan)
yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu yang didasarkan pada tujuan.
[1]Badan Standar Nasional Pendidikan, Panduan
Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan
Menengah, (Jakarta: BSNP, 2006), hal. 1.
[2]www.dhanay.co.cc/2009/11/ktsp-kurikulum
tingkat satuan pendidikan,
download tanggal 7 Januari 2009.
[3]Muhammad Joko Susilo, Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan : Manajemen Pelaksanaan dan Kesiapan Sekolah Menyongsongnya,
Cet. II, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007), hal. 95.
[4]E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi :
Konsep, Karakteristik dan Implementasi, Cet. VIII, ( Bandung : Remaja Rosdakarya, 2005), hal. 38 – 39.
[5]Muhammad Joko Susilo, Kurikulum ..., hal. 95.
[6]www.dhanay.co.cc/2009/11/ktsp-kurikulum tingkat
satuan pendidikan, download
tanggal 7 Januari 2009.
[7]Badan Standar Nasional Pendidikan, Panduan ...,
hal. 2.
[8]Muhaimin, dkk., Pengembangan Model Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan pada Sekolah dan Madrasah, (Jakarta: RajaGrafindo,
2008), hal. 4.
[9]E. Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
: Kemandirian Guru dan Kepala Sekolah, cet. II, (Jakarta : Bumi Aksara,
2009), hal. 178.
[10]E. Mulyasa, Implementasi Kurikulum 2004, Cet.
III, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2005), hal. 2.
[11]Muhammad Joko Susilo, Kurikulum ..., hal. 97.
[12]E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah :
Konsep, Strategi dan Implementasi, Cet. V, (Bandung : Remaja Rosdakarya,
2003), hal. 47.
[13]Moch. Idochi Anwar, Administrasi Pendidikan dan
Manajemen Biaya Pendidikan (Teori, Konsep, dan Isu), Cet. I, (Bandung :
Alfabeta, 2003), hal. 78.
[14]E. Mulyasa, Kurikulum ..., hal. 41.
[15]Suprayekti, Interaksi Belajar Mengajar,
Soewondo, dkk. (ed.), (Jakarta : Depdiknas, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar
dan Menengah, 2003), hal. 20.
[16]Bambang Dwi Prasetyo, “Perpustakaan Sekolah
Menunjang KBK", dalam GERBANG Edisi 4 Tahun III, Oktober 2003, hal,
14.
[18]E. Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional,
Cet. VI, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2005), hal. 25.
[19]Arief Rachman, dkk., Panduan Pelatihan Untuk
Pengembangan Sekolah, (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat
Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, 2000),
hal. 41.
[20]FA. Agus Wahyudi, “Guru Profesional Kunci
Sukses KBK", dalam GERBANG Edisi 5 Tahun III, Nopember 2003, hal, 42.
[21]Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Dengan
Pendekatan Baru, Edisi Revisi, (Jakarta: Remaja Rosdakarya, 2003), hal.
250.
[22]E. Mulyasa, Implementasi ..., hal. 27 – 28.
[23]Jamaluddin Idris, “Peran Komite Sekolah dan
Masyarakat dalam Pendidikan”, makalah disampaikan pada Seminar Sehari
dengan tema “Mutu Pendidikan : Harapan dan Kenyataan”, di Aula SMA Negeri 1
Sigli tanggal 18 Agustus 2007, hal. 2.
[24]Muhibbin Syah, Psikologi..., hal. 132 –
133.