10/27/2015

Pengertian dan KTSP



BAB II
LANDASAN TEORITIS

A.    Pengertian dan Latar Belakang KTSP
1.      Pengertian KTSP
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan adalah :
Seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Tujuan tertentu ini meliputi tujuan pendidikan nasional serta kesesuaian dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Oleh sebab itu kurikulum disusun oleh satuan pendidikan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di daerah. [1]


Berdasarkan kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan adalah kurikulum yang dikembangkan berdasarkan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Meskipun demikian, penyusunannya juga harus memperhatikan tujuan pendidikan nasional.
Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang didasarkan pada karakteristik sekolah ini harus berdasarkan standar nasional pendidikan agar tujuan pendidikan nasional dapat tercapai. Standar nasional pendidikan itu sendiri terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan. Dua dari delapan standar nasional pendidikan tersebut, yaitu Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) merupakan acuan utama bagi satuan pendidikan atau sekolah dalam mengembangkan kurikulumnya.
Adapun yang menjadi ciri dari KTSP adalah:
a.     Memberikan kebebasan kepada tiap-tiap sekolah untuk meyelenggarakan program pendidikan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah, kemampuan peserta didik, sumber daya yang tersedia dan kekhasan daerah.
b.    Orang tua dan masyarakat dapat terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran.
c.     Guru harus mandiri dan kreatif.
d.    Guru diberikan kebebasan untuk memanfaatkan berbagai metode pembelajaran.[2]

Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa ciri dari KTSP adalah pemberian otonomi seluas-luasnya kepada sekolah dalam pengembangan kurikulum sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah, kemampuan peserta didik, sumber daya yang tersedia dan kekhasan daerah. Dalam pengembangan tersebut juga melibatkan orang tua siswa yang selama ini dikesampingkan perannya. Selain itu dalam KTSP guru dituntut lebih kreatif dan mereka diberikan kebebasan dalam menerapkan metode pembelajaran.
Sebenarnya KTSP tidak jauh berbeda dengan KBK. Tentang hal ini Muhammad Joko Susilo menjelaskan bahwa “Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan diolah dari Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang masih menekankan pada kompetensi siswa. Rumusan tujuan masih berstandar kompetensi, proses pembelajarannya masih berbasis kompetensi dan lain sebagainya sebagaimana pada KBK.” [3]
Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa KTSP sebenarnya masih sama dengan KBK. Yang membedakan hanya pada pemberian otonomi bagi guru dalam hal perumusan indikator. Selain itu baik KBK maupun KTSP kedua-keduanya sama-sama berbasis kompetensi dan menganut prinsip belajar tuntas
Kompetensi ini sendiri mengandung beberapa aspek. Menurut Gordon sebagaimana dikutip E. Mulyasa, aspek-aspek yang terkandung dalam konsep kompetensi adalah sebagai berikut :
1.      Pengetahuan (knowledge), yaitu kesadaran dalam bidang kognitif.
2.      Pemahaman (understanding), yaitu kedalaman kognitif dan afektif  yang dimiliki oleh individu.
3.      Kemampuan (skill), adalah sesuatu yang dimiliki oleh individu untuk melakukan tugas atau pekerjaan yang dibebankan kepadanya.
4.      Nilai (value), adalah  suatu standar prilaku yang telah diyakini dan secara psikologis telah menyatu dalam diri seseorang.
5.      Sikap (attitude), yaitu perasaan atau reaksi terhadap suatu rangsangan yang datang dari luar.
6.      Minat (interest),  adalah kecenderungan seseorang untuk melakukan suatu perbuatan. [4]

Berdasarkan kutipan di atas dapat dipahami bahwa kompetensi memiliki enam aspek, yaitu pengetahuan, pemahaman, kemampuan, nilai, sikap dan minat. Semua aspek tersebut harus tercermin pada kebiasaan dan prilaku siswa agar ia dapat disebut sebagai siswa yang sudah berkompeten.
2.      Latar Belakang KTSP
Kurikulum 2006 atau lebih dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan “hasil penegasan dari atau sejalan dengan kebijakan desentralisasi.”[5] Hal ini disebabkan sekolah lebih megetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman bagi dirinya, sehingga dia dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang tersedia. Sekolah lebih mengetahui kebutuhan lembaganya, khususnya input pendidikan yang akan dikembangkan dan didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan peserta didik. Oleh sebab itu “pegambilan keputusan yang yang dilakukan oleh sekolah lebih cocok untuk memenuhi kebutuhan sekolah. Karena itu pihak sekolahlah yang paling mengetahui apa yang terbaik bagi sekolahnya. Atas alasan tersebutlah KTSP dicanangkan.”[6]
Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa KTSP adalah wujud respon pemerintah terhadap adanya otonomi daerah. Otonomi dalam penyelenggaraan pendidikan tersebut berimplikasi pada perubahan sistem manajemen sekolah dari pola sentralisasi ke desentralisasi dalam pengelolaan pendidikan yang demokratis.
Secara yuridis pelaksanaan dan penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan didasarkan pada:
1.      Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
2.      Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Ketentuan di dalam PP 19/2005 yang mengatur KTSP, adalah Pasal 1 yang menjelaskan bahwa KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan; Pasal 5 menjelaskan bahwa standar isi memuat kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar, KTSP, dan kalender pendidikan/akademik. Pasal 14 menjelaskan bahwa kurikulum sekolah dapat memasukkan pendidikan berbasis keunggulan lokal. Pasal 16 menjelaskan bahwa penyusunan KTSP berpedoman pada panduan yang disusun BSNP. Pasal 17 menjelaskan bahwa KTSP dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah/karakteristik daerah, sosial budaya masyarakat setempat, dan peserta didik.
3.      Standar Isi, yang mencakup lingkup materi dan tingkat kompetensi untuk mencapai kompetensi lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Termasuk dalam SI adalah : kerangka dasar dan struktur kurikulum, Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) setiap mata pelajaran pada setiap semester dari setiap jenis dan jenjang pendidikan dasar dan menengah. SI ditetapkan dengan Permendiknas No. 22 Tahun 2006.
4.      Standar Kompetensi Lulusan (SKL), yang merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan dan keterampilan sebagaimana yang ditetapkan dengan Permendiknas No. 23 Tahun 2006. [7]

Berdasarkan kutipan tersebut dapat dipahami bahwa pelaksanaan KTSP dipayungi sangat banyak payung hukum, mulai dari Peraturan Menteri, Peraturan Pemerintah, bahkan Undang-Undang. Hal ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menerapkannya. Oleh sebab itu setiap satuan pendidikan perlu menyusun kurikulumnya masing-masing.
Penerapan KTSP di satuan pendidikan dilakukan secara bertahap. Sehubungan dengan kapan satuan pendidikan harus mengembangkan KTSP  ini, disebutkan bahwa:
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 26 Tahun 2006 dinyatakan bahwa Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah:
a.       Dapat menerapkan KTSP mulai tahun pelajaran 2006/2007.
b.      Harus mulai menerapkannya paling lambat tahun pelajaran 2009/2010.
c.       Bagi satuan pendidikan yang telah melaksanakan ujicoba kurikulum 2004 secara menyeluruh dapat menerapkannya untuk setiap tingkatan kelasnya mulai tahun pelajaran 2006/2007.
d.      Bagi satuan pendidikan dasar dan menengah yang belum melaksanakan ujicoba kurikulum 2004, dapat menerapkannya bertahap dalam waktu paling lama 3 tahun, dengan tahapan sebagai berikut:
(1)    Untuk SD/MI/SDLB:
-          Tahun I : kelas 1 dan 4
-          Tahun II : kelas 1, 2, 4, dan 5
-          Tahun III : kelas 1, 2, 3, 4, 5, dan 6.
(2)    Untuk SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK, SMPLB dan SMALB:
-          Tahun I : kelas 1
-          Tahun II : kelas 1 dan 2
-          Tahun III : kelas 1, 2, dan 3. [8]

Berdasarkan kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa implementasi KTSP dimulai sejak tahun pelajaran 2006/2007 dan paling lambat tahun pelajaran 2009/2010. Untuk sekolah yang sudah melaksanakan KBK (kurikulum 2004) secara menyeluruh pada semua tingkatan kelas, maka pada tahun pelajaran 2006/2007 KTSP dapat dilaksanakan langsung untuk semua tingkatan kelas. Sedangkan bagi sekolah yang belum menerapkan KBK, penerapan KTSP dapat dilakukan secara bertahap sehingga pada tahun pelajaran 2009/2010 semua tingkatan kelas telah menerapkannya.

B.     Strategi Implementasi KTSP di Sekolah
Dalam upaya implementasi ini diperlukan strategi-strategi yang mempercepat keberhasilannya. Strategi merupakan siasat-siasat yang digunakan untuk melakukan suatu hal agar lebih berhasil. Selain itu strategi diperlukan agar pelaksanaan suatu program dapat lebih efektif dan efesien. Efektif mengandung makna dalam pelaksanaannya dapat dilakukan cepat dan tepat, sementara efesiensi memungkinkan adanya penghematan baik dalam konteks finansial maupun waktu.
Implementasi adalah “penerapan sesuatu yang memberikan efek atau dampak.”[9] Dengan demikian dapat dipahami bahwa implemetasi KTSP merupakan suatu proses penerapan kebijakan dan konsep atau inovasi dalam suatu tindakan praktis sehingga memberikan dampak, baik berupa pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap. Implemetasi KTSP adalah bagaimana meyampaikan pesan-pesan kurikulum tersebut kepada peserta didik untuk membentuk kompetensi mereka sesuai dengan karakteristik dan kemampauan mereka masing-masing.
Penerapan KTSP sebagai kurikulum pengganti Kurikulum Berbasis Kompetensi merupakan pembaruan. Sebagai hal baru maka agar penerapannya efektif dan efesien haruslah ditempuh berbagai strategi dalam pelaksanaannya. Adanya strategi-strategi tersebut juga memungkinkan pelaksana dapat menyusun suatu program sehingga langkah-langkah yang ditempuh lebih sistematis.
Sehubungan dengan strategi yang harus dilakukan dalam penerapan suatu kurikulum, E. Mulyasa menyebutkan tujuh jurus yang dapat ditempuh. Adapun ketujuh jurus tersebut adalah :
1.     Mensosialisasikan perubahan di sekolah.
2.     Menciptakan lingkungan yang kondusif.
3.     Mengembangkan fasilitas dan sumber belajar.
4.     Mendisiplinkan peserta didik.
5.     Mengembangkan kemandirian kepala sekolah.
6.     Mengubah paradigma (pola pikir) guru.
7.     Memberdayakan tenaga kependidikan di sekolah.[10]

Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa agar penerapan KTSP dapat sukses perlu dilakukan beberapa hal yaitu mensosialisasikannya, mengkondusifkan lingkungan, mengembangkan fasilitas dan sumber belajar, membina disiplin siswa, memandirikan kepala sekolah, mengubah pola pikir guru, dan memberdayakan guru sebagai ujung tombak di lapangan.
Sosialisasi dari suatu hal baru yang akan dilaksanakan amat penting agar terwujudnya pemahaman guru tentang KTSP. Bahkan “sebelum proses implementasi lebih jauh di tingkat sekolah, maka setidaknya budaya mengenal kurikulum harus ditumbuhsuburkan.”[11] Adanya pemahaman guru ini memungkinkan tertunjangnya pelaksanaan di lapangan. Dapat dibayangkan bila seseorang disuruh mengerjakan sesuatu yang tidak dipahami, niscaya arah dari pekerjaan yang dilakukan tersebut tidak diketahui. Akibatnya pelaksanaan KTSP menjadi sangat jauh dari tujuan pemberlakuannya.
Lingkungan merupakan hal yang sangat menentukan dalam pembelajaran. Penerapan KTSP di sekolah dengan sendirinya menuntut adanya perubahan pelaksanaan pembelajaran di kelas. Oleh sebab itu lingkungan kelas dalam sekolah harus dikondisikan agar pembelajaran maksimal. Misalnya jumlah siswa dalam kelas tidak terlalu banyak.
Fasilitas dan sumber belajar merupakan hal yang sangat penting dalam usaha menjadikan pembelajaran berhasil dengan baik. Agar penerapan KTSP berhasil maka ketersediaan fasilitas dan sumber belajar ini sangat penting diperhatikan dan direncanakan. Banyak cara yang dapat ditempuh dalam mengembangkan hal ini, salah satunya adalah membuat sistem moving class. Adanya moving class ini menyebabkan adanya kelas sebagai laboratrium penalaran. Misalnya kelas Agama Islam hanya diperuntukkan untuk proses pembelajaran bidang studi tersebut, dan di dalamnya disediakan bermacam fasilitas dan sumber belajar Agama Islam.
Dari sekian banyak jurus yang telah dikemukakan di atas, strategi yang paling penting yang harus dilakukan agar penerapan KTSP efktif, efesien, dan berhasil dalam pelaksanaannya sebagaimana yang telah dicita-citakan adalah memberdayakan guru. Hal ini disebabkan guru adalah pelaksana langsung dari penerapan KTSP tersebut. Bagaimanapun lengkapnya fasilitas dan sumber belajar, disiplinnya peserta didik, hebatnya kepemimpinan kepala sekolah, dan kondusifnya lingkungan, tanpa guru yang melaksanakan langsung KTSP menjadi sia-sia. Sekali lagi, peran guru tak dapat digantikan oleh apapun, meskipun alat yang sangat canggih.

C.    Problema Implementasi KTSP di Sekolah
Hampir tidak ada pekerjaan yang dilaksanakan oleh seseorang maupun suatu lembaga berjalan mulus dan tidak mengalami problema walaupun perencanaannya sangat baik. Problema tersebut pasti ada meskipun hanya sedikit. Demikian pula dengan penerapan KTSP sebagai kurikulum baru pengganti KBK.
Di antara sekian banyak problema yang dialami dalam penerapan KTSP dapat dikelompokkan menjadi problema finansial, problema SDM pelaksana, dan problema daya dukung.
1.      Problema finansial
Tak dapat dipungkiri bahwa dana mutlak diperlukan dalam melaksanakan sesuatu. Demikian halnya dengan penerapan KTSP. Dana diperlukan untuk berbagai hal, misalnya sosialisasi perubahan kurikulum serta cara pengoperasionalannya, pengadaan fasilitas, pengadaan sumber belajar, dan lain-lain. Ketersediaan dana yang mencukupi membuat segala program dapat lebih mudah dilaksanakan. Namun sebaliknya apabila dana yang dimiliki sekolah sangat minim, maka program yang sudah direncanakan menjadi terhambat untuk dilaksanakan.
Tentang pentingnya dana dalam penyelenggaraan pendidikan, E. Mulyasa menjelaskan :
Dalam penyelenggaraan pendidikan, keuangan dan pembiayaan merupakan potensi yang sangat menentukan dan merupakan bagian tak terpisahkan dalam kajian manajemen pendidikan. Komponen keuangan dan pembiayaan pada suatu sekolah merupakan komponen produksi yang menentukan terlaksananya proses belajar-mengajar di sekolah bersama komponen-komponen lain. Dengan kata lain setiap kegiatan yang dilakukan sekolah memerlukan biaya, baik itu disadari maupun tidak disadari.[12]

Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa keuangan sekolah berjaitan erat secara langsung dengan keberlangsungan proses pembelajaran. Sementara tanpa proses pembelajaran, keberadaan sekolah menjadi sia-sia saja. Ini berarti bahwa pendanaan merupakan hal penting dalam penerepan  KTSP. Dengan sendirinya pendanaan merupakan problema tersendiri dalam penerapan KTSP.
2.      Problema SDM pelaksana
Sebelum pemberlakuan KTSP sebagai kurikulum, telah terlebih dahulu adanya KBK. Kalau dikaji, hanya terdapat sedikit perbedaan antara kedua kurikulum tersebut, bahkan memiliki persamaan yang sangat mendasar yaitu masih sama-sama menekankan pada pencapaian kompetensi siswa. Namun demikian ada juga hal-hal yang membedakan antara kedua kurikulum.
Pemberlakuan KTSP sebagai kurikulum yang berperan sebagai pengganti telah secara langsung merombak banyak hal yang harus dikerjakan oleh guru sehari-hari, terutama harus menyusun indikator dari Kompetensi Dasar yang telah digariskan pemerintah. Perubahan juga terjadi dalam penyiapan perangkat pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, sampai pelaksanaan evaluasi. Adanya perubahan ini secara langsung berakibat pada pelaksana di lapangan, terutama guru. Mau tidak mau, mampu tidak mampu, guru harus menyelaraskan segala hal yang harus dilakukannya dengan harapan dan tuntutan pemberlakuan KTSP itu sendiri.
Pergeseran penekanan kurikulum tersebut menyebabkan Sumber Daya Manusia (SDM) pelaksana, khususnya guru, harus seimbang dengan harapan kurikulum. Ketidakseimbangan antara kualitas SDM guru dengan harapan KTSP menjadi batu sandungan yang amat besar dalam penerapannya. Bagaimana mungkin mengaharapkan perubahan, sementara orang yang akan melaksanakan perubahan tidak mengerti apa yang dilakukan agar dapat terjadi perubahan.
Selain guru, sumber daya kepala sekolah juga tak kentara perannya. Pernyataan ini tidak berlebihan karena kepala sekolah adalah pengambil kebijakan di lapangan. Oleh sebab itu kepala sekolah hendaknya memiliki “keterampilan teknis (technical skill), keterampilan manusiawi (human skill), keterampilan konseptual (conceptual skill)”.[13]
Keterampilan teknis merupakan keterampilan menerapkan pengetahuan teoritis ke dalam tindakan praktis, kemampuan memecahkan masalah melalui taktik yang baik, atau kemampuan menyelesaikan tugas secara sistematis. Sementara keterampilan manusiawi bertalian dengan kemampuan untuk menempatkan diri dalam kelompok dan menjalin komunikasi yang efektif. Adapun keterampilan konseptual berbentuk kecakapan untuk menformulasikan pikiran, memahami teori-teori dan melakukan aplikasinya.
Selain guru dan kepala sekolah, penerapan KTSP juga menuntut semua civitas sekolah memiliki keterampilan yang memadai. Tata usaha juga sangat berperan dalam kesuksesan penerapan KTSP, misalnya dalam pengelolaan manajemen sekolah.
3.      Problema daya dukung
Sebagaimana dalam KBK, penerapan KTSP yang juga masih menganut prinsip belajar tuntas menuntut “pelaksanaan pembelajaran dengan lebih menekankan pada kegiatan individual meskipun dilaksanakan secara klasikal, memperhatikan perbedaan peserta didik, mengupayakan lingkungan belajar yang kondusif dengan menggunakan metode dan media yang bervariasi.”[14] Hal ini mengisyaratkan bahwa siswa dalam kelas tidak terlalu banyak. Banyaknya siswa dalam kelas menyebabkan guru kesulitan dalam mewujudkan pembelajaran yang berorientasi pada individual siswa.
Namun terjadi permasalahan, KTSP menuntut pelaksanaan pembelajaran difokuskan pada individu bukan klasikal, sementara kelas dipenuhi oleh banyak sekali siswa yang membuat guru kesulitan melaksanakannya. Kenyataan ini memerlukan penyelesaian dengan memperbanyak kelas paralel sehingga setiap kelas hanya diduduki oleh jumlah siswa yang memungkinkan pelaksanaan pembelajaran dengan leluasa.
Pengadaan kelas paralel yang lebih banyak menuntut adanya penambahan ruang belajar yang banyak serta tenaga pengajar tambahan. Ini juga merupakan suatu yang hampir mustahil dilaksanakan di tengah kondisi sekarang. Solusinya adalah dengan memaksimalkan daya dukung stakeholder, termasuk masyarakat.
Permasalahan daya dukung ini juga diperparah oleh kurang tersedianya sarana belajar dan sumber belajar. Sebagai contoh, sekolah dalam menerapkan KTSP memerlukan perangkat komputer dan multimedia, namun sedikit sekali sekolah yang memiliki hal tersebut. Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa salah satu problema penerapan KTSP di sekolah adalah daya dukung.

D.    Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Implementasi KTSP di Sekolah
Membicangkan faktor yang mempengaruhi implementasi sesuatu sama halnya dengan mempertanyakan faktor-faktor pendukung dan penghambat. Faktor pendukung dan faktor penghambat merupakan dua hal berbeda yang berada di dua kutub berbeda dan saling bertolak belakang. Ibarat sekeping uang logam, faktor pendukung berada pada sisi muka sementara faktor penghambat pada sisi yang lain. Namun kedua sisi tersebut selalu ada dan tidak mungkin dihilangkan.
Jika faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan KTSP mampu memuluskan pelaksanaannya, maka faktor tersebut disebut faktor pendukung. Sebaliknya jika faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut justru menjadi aral pelaksanaannya, maka dikatakan faktor penghambat. Oleh sebab itu, pembahasan tentang faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan KTSP ini akan dibahas secara bersamaan.
Banyak faktor yang secara langsung menimbulkan problema dalam penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Secara umum dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok besar, yakni perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software) dan perangkat pikir (brainware).
  1. Perangkat keras (hardware)
Kesuksesan pelaksanaan KTSP sangat dipengaruhi oleh ada tidaknya perangkat keras. Adapun bentuk-bentuk dari perangkat keras tersebut adalah ruang kelas, perpustakaan (buku), sarana, dan sebagainya. Supaya pelaksanaan KTSP berhasil maksimal, maka semua perangkat keras tersebut harus terpenuhi.
Ketaktersediaan ruang kelas yang mencukupi berimbas pada jumlah siswa dalam kelas. Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa salah satu landasan teoritis diberlakukannya KTSP adalah adanya pergeseran dari pembelajaran klasikal ke arah pembelajaran individual. Dapat dibayangkan bila kelas dihuni oleh siswa yang melampaui kapasitas idealnya tentu akan merepotkan bahkan menghambat guru dalam melangsung pembelajaran. Hal ini mengingat pembelajaran dalam KTSP adalah pembelajaran individual, bukan pembelajaran klasikal. Tentang jumlah siswa ideal dalam sebuah kelas, Suprayekti menjelaskan bahwa “jumlah siswa yang ideal 15 sampai 20 orang, karena jumlah siswa besar akan berpengaruh pada partisipasi siswa”. [15]
Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa ketersediaan ruang kelas sangat mempengaruhi partisipasi siswa di kelas. Sementara KTSP menginginkan pembelajaran secara individual. Dengan sendirinya kondisi ruang kelas turut mempengaruhi kesuksesan pelaksanaan KTSP. Dalam kalimat yang lain dapat dikatakan bahwa tersedianya ruang kelas yang memadai menjadi pendukung pelaksanaan KTSP, sebaliknya ruang kelas yang tidak mencukupi akan menjadi penghambat penerapannya.
Seperti halnya ruang kelas, ketersediaan buku di perpustakaan juga akan mempengaruhi kelancaran pelaksanaan KTSP. Mengenai pentingnya perpustakaan dalam pelaksanaan KTSP ditegaskan oleh Bambang Dwi Prasetyo bahwa “sumber belajar dalam pembelajaran tidak hanya guru, melainkan banyak sumber lain terutama buku. Oleh sebab itu ketersediaan buku di perpustakaan sangat menunjang penerapan kurikulum. Perlu ditegaskan bahwa perpustakaan adalah sumber belajar dan bagian integral dari sistem persekolahan”.[16]
Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa sumber belajar dalam KTSP tidak hanya guru semata namun banyak sumber lain terutama buku yang ada di perpustakaan. Ini berimplikasi pada pentingnya perpustakaan dalam pelaksanaan KTSP. Kelengkapan buku di perpustakaan akan menjadi faktor pendukung pelaksanaan KTSP, demikian juga sebaliknya, perpustakaan yang hanya sebagai simbol dalam arti tidak lengkapnya buku akan menjadi aral dalam menyukseskan pelaksanaan KTSP.
Hal ini menandakan bahwa fasilitas merupakan suatu hal yang perannya sangat besar dalam kesuksesan pelaksanaan KTSP. Dalam redaksi kalimat yang lain dapat dinyatakan bahwa tersedianya fasilitas belajar yang memadai menjadi pendukung bagi suksesnya pelaksanaan KTSP, sebaliknya kekurangan fasilitas yang dimiliki menjadi hambatan pelaksanaannya.
  1. Perangkat lunak (software)
Perangkat lunak memegang peran yang sangat penting dalam kesuksesan pelaksanaan KTSP. Adapun yang dapat dikategorikan dalam perangkat lunak meliputi program pembelajaran, sosialisasi dan kurikulum itu sendiri.
Program pembelajaran merupakan tanggung jawab guru sebagai ujung tombak dan pihak yang langsung bergelut dalam proses pembelajaran di sekolah. Tentang apa dan bagaimana mengembangkan program pembelajaran telah penulis bahas di depan, yakni guru harus merancang silabus, RPP, dan alat evaluasi untuk melakukan asesmen. Kemampuan guru dalam merancang program pembelajaran merupakan faktor penentu keberhasilan dan kesuksesan pelaksanaan KTSP.
Munculnya hal baru menuntut adanya publikasi yang luas dan menyeluruh kepada pihak-pihak yang menjadi pelaksana hal baru tersebut. Perubahan kurikulum dari KBK ke KTSP juga menuntut hal yang sama. Dengan demikian sosialisasi merupakan hal yang sangat penting dalam menjamin suksesnya pelaksanaan KTSP di lapangan. Menurut E. Mulyasa, pentingnya sosialisasi ini agar “kurikulum baru yang ditawarkan dapat dipahami dan diterapkan secara optimal, karena sosialisasi merupakan langkah penting yang akan menunjang dan menentukan keberhasilan perubahan kurikulum”. [17]
Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa sosialisasi perubahan kurikulum dan cara melaksanakannya memiliki korelasi positif dengan kesuksesan pelaksanaannya. Ini berarti sosialisasi yang baik adalah faktor pendukung demi kesuksesan pelaksanaannya. Demikian pula sebaliknya, sosialisasi yang kurang baik akan menjadi penghambat dalam upaya melaksanakannya.
  1. Perangkat pikir (brainware)
Mewacanakan perangkat pikir dalam pelaksanaan kurikulum pendidikan pada hakikatnya adalah memperbincangkan orang-orang (stakeholders) yang secara langsung atau tidak langsung terlibat di dalamnya. Pihak-pihak yang secara langsung terlibat dalam proses pendidikan adalah guru, kepala sekolah, dan anak didik. Sementara pihak yang secara tidak langsung juga berperan dalam proses pendidikan di sekolah adalah komite sekolah, masyarakat, dan pengambil kebijakan pendidikan (pemerintah).
1.      Kepala sekolah
Peranan kepala sekolah dalam kelangsungan dan kesuksesan sekolah sangat penting. Hal ini dapat ditilik dari pernyataan E. Mulyasa bahwa “erat hubungannya antara mutu kepala sekolah dengan berbagai aspek kehidupan sekolah... kepala sekolah bertanggung jawab atas penyelenggaraan kegiatan pendidikan, administrasi sekolah, pembinaan tenaga kependidikan lainnya, dan pendayagunaan serta pemeliharaan sarana dan prasarana”.[18]
Berdasarkan kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa peran kepala sekolah sangat penting dalam mewujudkan suksesnya pelaksanaan KTSP, hal ini disebabkan tanggung jawabnya yang sangat penting. Dengan sendirinya mutu sumber daya kepala sekolah yang kurang menjadi faktor penyebab munculnya problema penerapan KTSP di sekolah.
2.      Guru
Guru merupakan orang yang secara langsung mempengaruhi pelaksanaan apapun di sekolah, terutama menyangkut pembelajaran. Arief Rachman menjelaskan bahwa “guru adalah penyangga utama sistem pendidikan. Setiap harinya guru hadir di kelas dengan 40 – 48 siswa, dan berusaha untuk mentransformasikan pengetahuan dan keterampilan kepada mereka”.[19]
Peran guru dalam suatu proses pendidikan tidak akan tergantikan oleh apapun, meskipun ditemukannya berbagai media pembelajaran yang dapat meminimalkan peran guru. Sehingga sungguh tepat kesimpulan Ronald Brand sebagaimana dikutip oleh FA. Agus Wahyudi, bahwa “hampir semua usaha reformasi pendidikan seperti pembaharuan kurikulum dan penerapan metode mengajar baru akhirnya tergantung kepada guru”. [20]  
Guru memiliki peranan yang sangat penting, terutama dalam proses pembelajaran, sementara pembelajaran adalah inti dari keberlangsungan penerapan KTSP di sekolah. Setiap guru harus mampu mengarahkan kegiatan belajar siswa agar mencapai keberhasilan belajar (kinerja akademik) sebagai perwujudan terhadap indikator pembelajaran, kompetensi dasar, dan standar kompetensi. Apapun kurikulum yang diterapkan, peranan guru seperti ini tidak dapat dihilangkan, bahkan semakin meningkat. Konsekuensinya, tugas dan tanggung jawab guru juga semakin komplek dan berat pula. Dengan demikian guru harus mampu memaksimalkan fungsinya dalam pembelajaran dengan cara meningkatkan dan mengembangkan kompetensinya.
Menurut Gagne sebagaimana dikutip Muhibbin Syah, guru dalam proses pembelajaran berfungsi sebagai “designer of instruction (perancang pembelajaran), manager of instruction (pengelola pembelajaran), dan evakuator of student learning (penilai belajar siswa)”.[21]
Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa fungsi guru dalam pembelajaran secara umum adalah sebagai designer of instruction (perancang pembelajaran), manager of instruction (pengelola pembelajaran), dan evaluator of student learning (penilai belajar siswa). Dalam kaitannya dengan pelaksanaan KTSP guru sebagai designer of instruction harus mampu mengembangkan silabus, RPP, dan alat evaluasi. Peran guru sebagai manager of instruction menuntutnya untuk mampu mengelola (meyelenggarakan dan mengendalikan) seluruh tahapan proses pembelajaran seefektif dan seefesien mungkin. Pada pembelajaran dengan pola KTSP, guru sebagai manager of instruction harus :
a.     Menguasai dan memahami bahan dan hubungannya dengan bahan lain dengan baik.
b.    Menyukai apa yang diajarkannya dan menyukai mengajar sebagai suatu profesi.
c.     Memahami perbedaan peserta didik.
d.    Memahami dan menggunakan metode yang bervariasi dalam pembelajaran.
e.     Selalu mempersiapkan proses pembelajaran.
f.               Menghubungkan pengalaman yang lalu dengan kompetensi yang akan dikembangkan.[22]

Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa sebagai manager of instruction pada pembelajaran dalam KTSP guru harus menguasai substansi pelajarannya secara detil, mampu memahami perbedaan peserta didik dan mengelompokkannya berdasarkan perbedaan yang ada, memahami dan menerapkan metode-metode pembelajaran, serta harus selalu merencankan dan mempersiapkan pembelajaran.
Andaikata guru tidak mampu menjalankan peran dan tugasnya sebagai perancang pembelajaran, pengelola pembelajaran, dan penilai belajar siswa, maka hal itu semua menjadi suatu faktor yang menyebabkan munculnya problema yang paling besar dalam penerapan KTSP di sekolah.
3.      Komite sekolah
Peranan masyarakat dalam rangka usaha pendidikan di sekolah sangat penting. Menyahuti pentingnya hal tersebut, maka diundangkanlah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional yang di dalamnya termasuk pentingnya Dewan Pendidikan di tingkat Kabupaten/Kota dan Komite Sekolah. Bahkan Mendiknas menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002 tanggal 2 April 2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Hal ini jelas menandakan bahwa peran Komite Sekolah teramat penting dalam kelangsungan pendidikan di sekolah.
Untuk mengetahui seberapa penting peran komite sekolah, maka terlebih dahulu perlu diketahui apa saja yang menjadi peran dan tugas komite sekolah. Jamaluddin Idris menjelaskan bahwa komite sekolah memiliki empat peran penting dalam menjadi parter sekolah untuk melangsungkan pembelajaran, yaitu sebagai : “badan pertimbangan (advisory agency), badan pendukung (supporting agency), badan pengontrol (controlling agency), dan badan mediasi (mediator agency).”[23]
Sebagai badan pertimbangan, komite sekolah harus mampu memberikan masukan dan pertimbangan dalam penyusunan program kerja sekolah, termasuk RAPBS. Sebagai badan pendukung, komite sekolah harus mampu mendukung segala program sekolah, seperti memfasilitasi kebutuhan sarana dan prasaran pendidikan di sekolah. Sementara sebagai badan pengontrol, komite sekolah harus turut berperan dalam mengontrol perencanaan pendidikan di sekolah, pelaksanaannya, serta turut aktif dalam memantau out put pendidikan. Adapun sebagai mediator mengharuskan komite sekolah menjadi jembatan antara sekolah dengan orang tua siswa atau masyarakat.
Semua tugas dan peran tersebut harus mampu dilakoni oleh lembaga yang disebut komite sekolah dengan maksimal. Jika sebagian dari tugas dan peran tersebut tidak mampu dijalankan, maka akan menjadi permasalahan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Ini juga berakibat pada munculnya problema penerapan KTSP di sekolah.
4.      Siswa
Selain guru, siswa juga menjadi faktor penentu dalam kesuksesan pelaksanaan KTSP. Sungguh tidak ada artinya guru bila siswa tidak ada, demikian halnya tidak ada guna siswa kalau guru tidak ada. Hal ini menunjukkan bahwa dua komponen tersebut merupakan hal utama dalam suatu proses pendidikan.
Banyak hal dari siswa yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan suatu kurikulum. Secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi kondisi fisik dan kondisi psikis. Kondisi fisik siswa berpengaruh pada pembelajaran dengan pola KTSP karena kondisi fisik turut berpengaruh pada produktivitas belajar, terutama menurunnya kualitas ranah kognitif bila kondisi tubuh seseorang lemah. Muhibbin Syah menyatakan :
Kondisi organ tubuh yang lemah, apalagi disertai pusing-pusing kepala misalnya, dapat menurunkan kualitas ranah cipta (kognitif) sehingga materi yang dipelajarinya pun kurang atau tidak berbekas...Kondisi organ-organ khusus siswa, seperti tingkat kesehatan indera pendengar dan indera penglihat, juga sangat mempengaruhi kemampuan siswa dalam menyerap informasi dan pengetahuan. [24]

Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa kondisi fisik siswa turut mempengaruhinya dalam belajar, terutama indera pendengaran dan penglihatan yang merupakan pintu gerbang masuknya pengetahuan ke dalam memori individu. Kondisi kesehatan juga turut berpengaruh dalam aktivitas belajar. Kondisi kesehatan yang tidak optimal akan menimbulkan kelesuan, lekas mengantuk, kurang semangat, mudah pusing, lekas lelah, buyar konsentrasi, dan sebagainya.
Sebagaimana faktor fisik, faktor psikis (psikologis) juga mempengaruhi kuantitas dan kualitas belajar seseorang. Namun, di antara faktor-faktor tersebut yang pada umumnya dipandang lebih esensisal adalah “inteligensi, sikap, bakat, minat, dan motivasi”. [25]
Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa faktor psikis siswa sangat berperan pada kuantitas dan kualitas belajarnya. Tingkat kecerdasan atau inteligensi (IQ) siswa tak dapat diragukan lagi sangat mempengaruhi keberhasilan belajarnya. Sikap seorang siswa terhadap suatu mata pelajaran sangat mempengaruhi aktivitas belajarnya. Bakat sangat mempengaruhi seseorang dalam belajar. Minat merupakan daya dukung yang turut mempengaruhi seseorang dalam belajar. Motivasi merupakan daya (kekuatan) yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu yang didasarkan pada tujuan.


[1]Badan Standar Nasional Pendidikan, Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, (Jakarta: BSNP, 2006), hal. 1.
[2]www.dhanay.co.cc/2009/11/ktsp-kurikulum tingkat satuan pendidikan, download tanggal 7 Januari 2009.

[3]Muhammad Joko Susilo, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan : Manajemen Pelaksanaan dan Kesiapan Sekolah Menyongsongnya, Cet. II, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007),  hal. 95.
[4]E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi : Konsep, Karakteristik dan Implementasi, Cet. VIII, ( Bandung : Remaja Rosdakarya,  2005), hal. 38 – 39.

[5]Muhammad Joko Susilo, Kurikulum ...,  hal. 95.
[6]www.dhanay.co.cc/2009/11/ktsp-kurikulum tingkat satuan pendidikan, download tanggal 7 Januari 2009.
[7]Badan Standar Nasional Pendidikan, Panduan ..., hal. 2.

[8]Muhaimin, dkk., Pengembangan Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan pada Sekolah dan Madrasah, (Jakarta: RajaGrafindo, 2008), hal. 4.
[9]E. Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan : Kemandirian Guru dan Kepala Sekolah, cet. II, (Jakarta : Bumi Aksara, 2009), hal. 178.
[10]E. Mulyasa, Implementasi Kurikulum 2004, Cet. III, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2005), hal. 2.
[11]Muhammad Joko Susilo, Kurikulum ...,  hal. 97.
[12]E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah : Konsep, Strategi dan Implementasi, Cet. V, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2003), hal. 47.
[13]Moch. Idochi Anwar, Administrasi Pendidikan dan Manajemen Biaya Pendidikan (Teori, Konsep, dan Isu), Cet. I, (Bandung : Alfabeta, 2003), hal. 78.
[14]E. Mulyasa, Kurikulum ..., hal. 41.
[15]Suprayekti, Interaksi Belajar Mengajar, Soewondo, dkk. (ed.), (Jakarta : Depdiknas, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, 2003), hal. 20.
[16]Bambang Dwi Prasetyo, “Perpustakaan Sekolah Menunjang KBK", dalam GERBANG Edisi 4 Tahun III, Oktober 2003, hal, 14.
[17]I b i d., hal. 17.
[18]E. Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional, Cet. VI, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2005), hal. 25.
[19]Arief Rachman, dkk., Panduan Pelatihan Untuk Pengembangan Sekolah, (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, 2000),  hal. 41.

[20]FA. Agus Wahyudi, “Guru Profesional Kunci Sukses KBK", dalam GERBANG Edisi 5 Tahun III, Nopember 2003, hal, 42.
[21]Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, Edisi Revisi, (Jakarta: Remaja Rosdakarya, 2003), hal. 250.

[22]E. Mulyasa, Implementasi ..., hal. 27 – 28.
[23]Jamaluddin Idris, “Peran Komite Sekolah dan Masyarakat dalam Pendidikan”, makalah disampaikan pada Seminar Sehari dengan tema “Mutu Pendidikan : Harapan dan Kenyataan”, di Aula SMA Negeri 1 Sigli tanggal 18 Agustus 2007, hal. 2.
[24]Muhibbin Syah, Psikologi..., hal. 132 – 133.

[25]I b i d., hal. 133.